Lihat ke Halaman Asli

niqi carrera

ibu rumah tangga

Bencana Ekologis Bikin Miris

Diperbarui: 25 Juli 2022   00:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Banjir seolah sudah menjadi bencana yang “rutin” menimpa negeri kita. Kali ini giliran Kabupaten Garut diterpa musibah ekologis pada Jumat (15/7/2022) malam. Banjir bandang terjadi akibat Garut dilanda hujan deras sejak malam hingga besok paginya. Untuk mengantisipasi meluapnya sungai Cimanuk, Pemerintah Kabupaten Garut sampai harus menetapkan status darurat bencana banjir bandang hingga 29 Juli 2022.

Melansir dari tirto.id (19/07/2022), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mendorong agar pemerintah terus melakukan investigasi terkait pernyataan yang dilontarkan oleh Wakil Gubernur Jabar Uu Ruzhanul Ulum yang menilai bahwa banjir di Garut tidak hanya akibat curah hujan tinggi, tetapi lebih dari itu, banjir terjadi karena adanya pembabatan dan alih fungsi lahan kawasan hulu sungai.

Jika meneropong apa yang terjadi tahun 2016 silam, Garut juga pernah dilanda banjir bandang. Penyebabnya adalah ditemukannya tiga lokasi penambangan ilegal pada zona merah alias hutan lindung. Setelah kasus tersebut ditangani oleh pihak kepolisian, permasalahan banjir ini kembali terulang. Lalu apakah yang sebenarnya terjadi di Garut?

Merujuk pada apa yang ditemukan oleh WALHI pada kondisi Jawa Barat secara umum, dimana daerah tersebut mengalami hidrometeorologi alias bencana banjir yang terus meningkat akibat dari izin tambang dan properti yang mengubah penampang bumi atau tutupan vegetasi (cnnindonesia.com, 30/11/2021).

Tahun 2017 silam memang pihak berwajib sudah menutup tambang ilegal, namun yang terjadi sekarang justru penambangan itu diberi kemudahan perizinan. Izin tersebut semakin santer saat diserahkan ke pusat melalui mekanisme online single submission atau OSS. Ditambah dengan beberapa kebijakan yang berpihak pada pemodal atau kapital, seperti UU Minerba dan Omnibus Law.

Melansir dari Mongabay (2016) bahwa pihaknya melaporkan adanya kerusakan ekosistem di hulu sungai sejak tahun 2007. Tetapi mengapa sampai sekarang tidak dilakukan konservasi hutan lindung? Bahkan anehnya perizinan tambang di daerah hulu sungai terus diberikan.

***

Kita mungkin masih ingat sebuah film bertajuk “Negeri Tanpa Telinga”. Film ini menyorot potret dinamika politik transaksional. Kesannya menggelitik, tapi serius terjadi di dunia nyata tepatnya di alam demokrasi. Sehingga menguatkan ikatan kepentingan antara penguasa dan pemodal. Lalu dampak ekologis tak lagi menjadi pertimbangan. Ini bisa menjadi faktor pertama mengapa bencana banjir tak kunjung surut.

Faktor kedua yaitu pembangunan ala kapitalistik. Dalam teori developmentalisme -yang banyak ditolak para pakar- menawarkan pembangunan untuk negara berkembang dengan skema hutang.  Tujuannya untuk mempertahankan hegemoni kapitalisme. Pembangunan terus menerus dilakukan dan selalu diukur secara statistik ekonomi semata. Tidak ada pertimbangan kebahagiaan mental manusia apalagi keberlangsungan ekosistem.

Di depan layar, rakyat disajikan data pertumbuhan ekonomi dan devisa negara yang terus meningkat. Padahal aktivitas pembangunan properti dan penambangan tidak otomatis semuanya mengisi pundi kas negara. Bahkan para pemodal yang mengambil keuntungan dengan persentase yang sangat besar. Negara sejatinya hanya menerima receh dan disisakan bencana ekologis yang membuat rakyat kecil menangis. Ditambah harus menambal biaya penanganan bencana yang jumlahnya tidak sedikit.

***

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline