Lihat ke Halaman Asli

Tanpa Nenek, Lebaran Kian Hambar

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sewaktu nenek masih ada, mudik lebaran selalu berlangsung semarak. Sulit bagi saya tidak berada di kampung manakala hari lebaran tiba.

Nenek itu anak tunggal, tetapi beliau memiliki 10 anak. Ibuku anak nomor 9. Dari 10 anak ini, muncullah puluhan cucu dan cicit. Kalau lebaran tiba, semua anak, cucu, dan cicit datang dan berkumpul di rumah nenek. Kebetulan rumah nenek terletak di samping rumah orang tuaku. Jadi semaraknya benar-benar terasa. Sebab, gara-gara rumah nenek itu kecil, rumahku yang jauh lebih besar jadi kelimpahan anak-cucu tadi itu.

Kalau kami sedang berkumpul, semua orang berceloteh. Celoteh anak ke cucu. Cucu ke cucu. Cucu ke cicit. Beberapa cucu laki-laki yang kaya membawa petasan dari kota, lalu membagi-bagikannya ke cucu yang lain di kampung. Dar ... dar ... suara petasan saling bersahutan.

Sementara cucu yang ada di kampung biasanya sudah menyiapkan semacam meriam dari bambu. Kami menyebutnya, lodong. Suaranya sangat menggelegar karena menggunakan karbit atau minyak tanah sebagai bahan bakarnya.

Usai shalat ied, acara silaturahmi digelar. Berbagai jenis makanan yang telah disiapkan diserbu. Mulai dari kacang goreng, goreng ketan, sampai ketupat. Masakan juga bermacam-macam jenisnya, mulai dari mi goreng, opor ayam, sambel kentang goreng, semur daging dan ikan goreng.

Sehari atau dua hari sebelum hari lebaran, kami saling kirim masakan. Masakan kiriman lalu dicampur-campur, dijadikan satu di katel yang besar. Oh enaknya, dan kami namakan itu "bebeye". Kalau bebeye dicolek pakai ketupat atau pakai ketan goreng yang masih panas, wah lezat sekali. Itulah makanan favorit keluarga besar kami.

Setelah itu, kami bersama-sama ke kompleks makam keluarga, yang juga berada tidak jauh dari rumah nenek, untuk berdoa di makam kakek, yang telah lama meninggal. Saya sendiri belum pernah bertemu kakek karena beliau sudah meninggal sewaktu saya masih kecil. Saya hanya bisa mengenal wajah kakek dari satu-dua foto hitam-putih yang sudah buram. Doa dipimpin oleh ustadz dan diikuti oleh puluhan anak-cucu tadi itu.

Nah, nenekku meninggal 15-an tahun lalu. Dan, sejak saat itulah suasana kesemarakan mulai terasa berkurang. Tambah berkurang lagi setelah ibuku juga meninggal beberapa tahun kemudian. Anak tertua nenek, seorang perempuan, kemudian kami jadikan semacam pengganti nenek. Ia menjadi yang dituakan dan karena itu seluruh keluarga lalu merasa wajib datang ke rumahnya kalau lebaran. Beliau meninggal lima tahun lalu.

Yang dituakan sekarang adalah anak kedua nenek, juga seorang perempuan. Kembali orang-orang seakan wajib mendatangi rumahnya kalau lebaran. Namun pada lebaran kali ini, rumah itu seperti "tidak wajib" lagi didatangi karena sang anak kedua tersebut meninggal beberapa bulan lalu. Pada lebaran kali ini, yang saya rasakan betul, adalah tidak ada lagi orang dituakan. Sehingga, tidak tampak ada "pusat" kesemarakan lebaran.

Di keluarga intiku sendiri, yang dituakan adalah ayah, yang sudah berusia 78 tahun. Baru sebulan berhenti merokok dan kemarin tampak kesehatanya sangat baik. Alhamdulillah. Meski demikian, ayahku tidak dituakan, antara lain mungkin karena bukan keturunan langsung dari nenekku. Saudara-saudaraku dari garis ayah berada di kota lain.

Apa yang terjadi sekarang? Berlebaran seperti hanya menjadi urusan keluarga masing-masing. Bersilaturahmi dilakukan hanya dengan sekedar datang ke rumah, basa-basi, lalu berlalu, pamit, dengan alasan masih banyak saudara yang belum disalami.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline