Lihat ke Halaman Asli

Sepenggal Catatan tentang Gempa dan Tsunami Jepang 2011

Diperbarui: 12 Maret 2016   17:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tepat 5 tahun lalu, gempa berkekuatan besar mengguncang Jepang, disusul dengan gelombang tsunami dengan tinggi belasan meter menghantam ganas kota- kota di sepanjang pantai timur Jepang.

Gelombang tsunami datang seperti serangan stroke. Tidak tebang pilih siapa yang jadi korban. Datangnya tiba- tiba. Skala kedestruktifannya begitu besar.Dalam hitungan beberapa menit puluhan ribu nyawa melayang. Puluhan kota hancur porak poranda. Jutaan orang kehilangan tempat tinggal dan sanak keluarga. Belum lagi kepanikan massal yang timbul akibat insiden nuklir di Fukushima. Ekonomi terhambat. Jepang lumpuh seketika.

Ketika itu saya sedang berada di kota Sendai. Meski tsunami tidak sampai ke pusat kota karena jarak pantai yang terlalu jauh, tapi pusat gempa sendiri berada di Sendai. Bisa dibayangkan, entah beruntung atau justru sial, saya menjadi salah satu yang "mencicipi" bagaimana rasanya diguncang dengan skala 9,0.

Meski lima tahun sudah berlalu, memori tersebut tak akan pernah terhapus oleh waktu. Terutama bagi para korban, dan saya sendiri, yang belajar banyak dari tragedi tersebut.

1. Kunci dalam penanganan bencana : Tenang dan Sigap.

Saat gempa pertama ( yang terbesar) terjadi, seluruh kota panik. Semua orang keluar gedung memenuhi jalan yang di beberapa tempat retak terbelah. Lalu lintas menjadi kacau. Walaupun awalnya memang ricuh (yang kalau menurut saya hal itu sangat manusiawi), tapi dalam beberapa jam ke depan masyarakat anehnya terlihat santai menghadapinya.

Jujur, saya yang waktu itu pertama kali mengalami gempa sebesar itu, panik luar biasa. Pernah sekali saat gempa susulan datang, saya yang sedang berada di convenient store langsung berlari keluar setelah melihat rak- rak makanan hampir jatuh roboh. Tapi anehnya orang- orang disekitar saya terlihat tenang. Mereka melihati saya. Kelihatan heran. Saya lebih heran lagi. "Nyawa hampir melayang kok bisa- bisanya sekalem itu".

Instruksi untuk evakuasi tersampaikan dengan jelas. Orang- orang menuju taman kota, yang waktu itu berfungsi sebagai tempat penampungan sementara yang dianggap paling aman. Saat itulah saya teringat latihan evakuasi yang setiap tahun dilakukan di sekolah saya.

Di Jepang sendiri setiap daerah dan institusi (sekolah, kantor, dll), diwajibkan untuk mengadakan latihan evakuasi setahun sekali. Isi latihannya simpel. Kita cuma perlu ke luar gedung seolah- olah terjadi bencana, menuju tempat yang ditetapkan sebagai tempat berlindung. Biasanya saya meremehkan kegiatan tersebut. Tapi saat bencana tersebut saya sadar, dengan pembiasaan semacam itu yang dilakukan rutin tiap tahun, saya bisa melihat bagaimana sigap dan tenangnya orang Jepang ketika bencana benar- benar terjadi.

2. Kejujuran. Nilai terpenting dalam masyarakat beradab.

Saat bencana terjadi, supermarket dan toko- toko ditinggalkan begitu saja tanpa dimasuki siapa pun. Meski tanpa pengawasan, tak ada seorang pun yang saya lihat mengambil barang di toko seenaknya. Saat saya ingin membeli makanan di seven eleven, saya melihat orang- orang begitu tertib berbaris di depan kasir. Dan luar biasanya lagi, karena scanner pendeteksi harga tak berfungsi lantaran listrik mati, pembelilah yang harus menghitung berapa barang yang dibeli, dan membayar sesuai harga.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline