Lihat ke Halaman Asli

TB2 : "Diskursus Hubungan Tax Ratio Indonesia dengan Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme Max Weber" a.n. Syauffa Pratiwi Hutasuhut

Diperbarui: 15 Juni 2025   16:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pendahuluan

Pajak adalah tulang punggung negara modern. Ia merupakan instrumen vital dalam pembangunan nasional, baik secara infrastruktur maupun sosial. Namun, fenomena tax ratio Indonesia yang rendah secara konsisten dalam dua dekade terakhir menimbulkan pertanyaan mendasar: mengapa penerimaan pajak kita tidak kunjung meningkat, meski perekonomian tumbuh?

Dalam menjawab pertanyaan ini, tulisan ini tidak hanya akan menganalisis dari sudut pandang ekonomi fiskal atau kebijakan semata, tetapi juga mencoba menelusuri aspek kultural, sosial, dan ideologis dengan menggunakan lensa Max Weber, khususnya melalui karyanya "The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism." Weber menunjukkan bahwa kapitalisme tidak semata sistem ekonomi, tetapi berakar dari nilai-nilai etik dan spiritual, khususnya dalam masyarakat Protestan.

Tax ratio sebagai refleksi kontribusi masyarakat kepada negara, tidak bisa dipahami hanya sebagai angka statistik. Ia merupakan ekspresi dari relasi antara individu dan negara. Maka, ketika tax ratio rendah, hal ini dapat mencerminkan absennya etika kolektif, lemahnya sistem kepercayaan, dan krisis otoritas dalam tubuh negara. Indonesia, dalam hal ini, menjadi studi kasus menarik untuk mengkaji hubungan antara etika, kapitalisme, dan pajak.

Tulisan ini akan menjelaskan secara menyeluruh fenomena tax ratio Indonesia, membandingkannya dengan negara lain, mengupas kerangka pikir Max Weber, serta menawarkan pendekatan interdisipliner dan rekomendasi kebijakan berdasarkan prinsip rasional-legal dan moralitas publik.

Bab I: Tax Ratio Indonesia – Realitas, Akar Masalah, dan Dampaknya

Tax ratio adalah indikator penting dalam mengukur efektivitas dan efisiensi sistem perpajakan suatu negara. Ia menunjukkan seberapa besar kontribusi pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Negara-negara dengan sistem fiskal kuat seperti Denmark, Swedia, dan Jerman memiliki tax ratio di atas 30%, bahkan mendekati 40%. Sebaliknya, Indonesia, yang merupakan salah satu negara dengan populasi terbesar di dunia dan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, memiliki tax ratio yang belum pernah menembus angka 15% selama lebih dari dua dekade.

Menurut data Kementerian Keuangan, pada tahun 2020 tax ratio Indonesia sempat anjlok ke angka 7,9%, sebelum kemudian kembali naik ke angka sekitar 10,38% pada tahun 2022. Meski ada peningkatan, angka ini tetap jauh dari standar ideal yang direkomendasikan OECD, yakni minimal 15%.

Penyebab rendahnya tax ratio di Indonesia cukup kompleks. Beberapa faktor utama yang dapat diidentifikasi antara lain:

  1. Tingginya sektor informal: Lebih dari 60% angkatan kerja Indonesia berada di sektor informal, yang sulit dijangkau oleh sistem perpajakan konvensional.

  2. Kepatuhan sukarela yang rendah: Banyak wajib pajak yang tidak melaporkan kewajibannya secara jujur, sebagian karena sistem pelaporan yang rumit, sebagian karena ketidakpercayaan terhadap penggunaan pajak oleh negara.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline