Pulang; Berupa Ruang, Bisa Jadi Orang
Sore merentang diri di atas ranjang, memeluk sepi sambil menyesap air mata yang jatuh perlahan, bagai embun yang enggan pergi. Di sudut jiwa, kenangan menari, menganyam bayang rumah yang dulu hangat, kini hanya puing rindu yang berbisik di antara kelam. Rindu itu berlarian, mengeja setiap sudut rumah dalam bait-bait penuh luka, menuju musim dingin yang basah oleh tangis langit. Di sana, di ujung waktu yang perih, ia bertahta, menggenggam dingin yang meresap, seolah ingin menjelma menjadi selimut bagi hati yang merindu.
Tempat pulang tak selalu bertembok rumah, melainkan secangkir kopi yang berbisik tentang pagi. Atau sebatang rokok, asapnya meliuk bagai tarian jiwa yang merindu kebebasan. Dan alkohol yang tak memabukkan, hanya mengalir membasuh luka. Serta ibadah terliar yang menggenggam ilahi dalam doa-doa liar. Kadang pulang adalah pelukan hangat, yang menjelma pelabuhan bagi hati yang terombang-ambing di lautan sunyi.
Setelah menelusuri lorong-lorong kepulangan, kata-kata Mama masih bergema lembut di kalbu, bagai bisik angin yang merengkuh jiwa: "Bila pasanganmu adalah pendengar yang baik, menangkap setiap ceritamu dengan hati terbuka dan mendengar dengan cinta yang tulus, selamat, anakku, kau telah melangkah ke surga." Dalam peluknya, aku menemukan taman abadi, tempat rindu bertahta tanpa perlu menanti bayang kematian, hanya damai yang menyelimuti, hangat, selamanya.
Sebelum jejak kepulangan menggores jiwa, pertanyaan-pertanyaan gaduh berlomba di relung pikiran, bagaikan angin yang meriuh di antara dedaun: siapa yang lebih suci, dia yang menyerahkan tubuh demi menutup lapar, atau dia yang memperdagangkan ayat demi selimut moral yang rapuh? Di negeri yang gemetar pada bayang hantu, agama kini hanya candu yang diobral di pasar kata, bukan lagi samudra sakral untuk menyelam dalam makna.
Pulanglah kemana engkau diterima. Tempat dimana kekuranganmu tidak ada yang mempedulikannya.
Pulanglah kemana engkau mampu merebah nyaman. Tempat dimana kau bebas menangis sesenggukan.
Watohari setelah pagi, ketika embun masih berbisik di ujung daun, jiwa terjaga dalam sunyi, merajut rindu yang tak pernah usai. Namun, di bawah langit yang sama, manusia berlomba dalam tarian ego, saling menjatuhkan dengan kata-kata berbisa di altar layar sentuh, berbicara bersama namun tak pernah bersatu, seolah kebersamaan hanyalah bayang yang pudar di pasar riuh opini. Di zaman ini, watohari tak lagi menyapa hati, hanya jadi latar bagi topeng-topeng ambisi, di mana kebenaran dipahat untuk sorak digital, dan keikhlasan tenggelam dalam lautan selfie yang haus puji.
Di bawah langit yang kelam, pesan Ayah bergema bagai kidung abadi: "Selesaikan tugasmu, anakku, lalu pulanglah, ingat, kita mencari rezeki, bukan meremukkan piring orang yang tengah menikmati suapannya." Kata-katanya menari, lembut namun teguh, mengalir seperti sungai yang menuntun jiwa, mengingatkan bahwa hidup bukanlah arena untuk saling menjatuhkan, melainkan perjalanan untuk menabur benih kebaikan.
Apakah kau pernah terasing dari rumah, di mana rindu menumpuk bagai debu di sudut jiwa, menggurat sakit yang berkecamuk dalam diam? Apakah kau pernah tersesat di malam yang kelam, terjaga dalam dingin yang menggigit, lapar yang merajam, hingga kecemasan menjelma bayang-bayang yang menari di dinding hati? Selamat berperang dengan pertanyaan-pertanyaan tak terhingga, yang berbisik di antara sunyi, menyeretmu ke lautan keraguan, sementara rumah hanya tinggal puisi yang pudar, diterpa angin waktu di ujung kelana.