Lihat ke Halaman Asli

Syarif Nurhidayat

Manusia yang selalu terbangun ketika tidak tidur

Assalamu'alaikum "Pak Haji"

Diperbarui: 15 Agustus 2020   05:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pak Abdurrahman dulu dipanggil pak Maman oleh orang-orang kampung. Dia sering sekali dimintai tolong untuk membantu pada setiap ada orang hajatan untuk menjadi juru undang, atau penyebar berita undangan. Pak Maman begitu nyaman dengan kedudukannya di kampung karena merasa memiliki kesempatan untuk mengabdikan dirinya, dan dia merasa diperlukan oleh banyak orang.

Namun setelah setahun kemarin Pak Maman diberangkatkan haji oleh seorang anaknya yang sukses dirantau, tiba-tiba kehidupannya berubah total. Tidak ada orang yang meminta lagi bantuannya untuk mengantarkan kabar undangan kenduri, pernikahan atau kematian. Bahkan dia sekarang tidak lagi dipanggil Pak Maman, tetapi "Pak Haji".

Cerita tersebut di atas, hanyalah sebuah ilustrasi yang sering terjadi dalam masyarakat, terutama di daerah tempat penulis berada. Seorang yang sudah berangkat Haji, ketika pulang mesti dipanggil sebagai pak Haji. Ada kesan mewah dalam sebuatn haji itu ketika disebutkan. Sebenarnya atas dasar apakah kita menyebut mereka yang telah melakukan ibadah ziarah Haji dengan sebutan pak Haji, atau bu Haji?

Jika ukurannya adalah penghargaan, maka penghargaan atas apa yang kita berikan kepada mereka? Apakah berangkat Haji itu memerlukan penghargaan sehingga orang yang menjalankannya perlu disebut dengan pak Haji? Seorang sarjana, doktor atau profesor, mendapat gelar tersebut karena mereka memiliki kapasitas ilmu tertentu sehingga mereka dinilai layak menyandang gelar tersebut. Dengan demikian, apakah setandar pemberian penghargaan Haji? Jika standarnya kesolehan, apakah karena orang yang telah berhaji berarti lebih soleh daripada yang belum berhaji?

Haji Kaya dan Haji Miskin

Kewajiban menunaikan ibadah jelas termuat dalam firman Allah, "Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. (Ali Imran : 97)

Penyataan sanggup memiliki makna yang jelas bahwa ada yang tidak sanggup menjalan ibadah haji. Sehingga yang diwajibkan menjalankannya adalah orang-orang yang mampu saja. Kriteria mampu bukan saja mampu secara fisik dan materi, namun juga kondisi sosial negara. 

Di syaratkan secara fisik karena rangkaian ibadah haji secara penuh membutuhkan kemampuan fisik yang prima, dari berjalan memutari Ka'bah (towaf), sampai sa'i yaitu berjalan bolak balik dari bukit Sofa ke bukit Marwah, sampai harus menghadapi perbedaan cuaca yang ekstrim ketika wukuf. 

Kesanggupan materi jelas, karena tempat haji disyariatkan di kota Makkah maka kita yang berada di Indonesia, mesti mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk sampai ke sana. Sehingga ketersediaan materi menjadi mutlak.  Kemudian kondisi sosial yang berarti keadaan dimana seorang calon jamaah haji itu berada, apakah tengah terjadi perang atau damai.

Barangkali karena prasyarat yang begitu berat itulah, maka ibdah haji sering disebut sebagai ibdah paripurna, atau penyempurna keislaman seseorang. Tidak heran kemudian banyak orang yang berlomba-lomba pergi haji dengan menabung sedikit demi sedikit. Sehingga wajar pula jika untuk naik haji di Indonesia saat ini harus inden satu tahun terlebih dahulu. Mendaftar tahun ini baru bisa berangkat tahun depan.

Namun apakah haji hanya milik orang yang memiliki materi berlebih? Bagaimana dengan orang fakir yang memiliki keinginan berhaji namun karena keterbatasan meteri menyebabkan dia tidak bisa berangkat. Penulis teringat dengan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang setiap jum'at selalu dibacakan di Masjid kampung penulis, yang kira-kira artinya demikian: sesungguhnya hari Jumaat adalah imamnya hari-hari, yaitu waktu hajinya kaum fakir dan kaum miskin. Maka apabila khotib telah naik ke atas mimbar janganlah berbicara. Barang siapa yang bicara maka dia telah lagha, dan barang siapa lagha,  maka tidak ada nilai jum'at baginya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline