Lihat ke Halaman Asli

Syaiful Anwar

Dosen FEB Universitas Andalas Kampus Payakumbuh

Motivasi Finansial Paling Waras di Dunia (13).

Diperbarui: 12 Oktober 2025   17:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

"Pensiun Bahagia: Mitos atau Paket Asuransi?"

Kata orang, masa pensiun itu seperti senja: indah, tenang, dan penuh refleksi. Tapi di Indonesia, banyak yang malah merasa senjanya seperti listrik padam---mendadak gelap dan bikin panik. Kita sering bermimpi "pensiun bahagia", tapi begitu waktunya tiba, yang datang duluan malah petugas PLN atau SMS penawaran pinjaman.

Fenomena ini bukan soal malas menabung. Banyak yang rajin, tapi menabungnya di tempat yang salah: di gengsi sosial. Ada teman saya, sebut saja Pak Harun---mantan pejabat BUMN yang waktu aktif kerja hidupnya luar biasa rapi, jas licin, mobil berganti tiap dua tahun. Tapi begitu pensiun, ia kaget: ternyata yang ikut pensiun bukan cuma jabatannya, tapi juga arus undangan, bonus, dan salam amplop. Dalam dua tahun, ia kehilangan separuh tabungan karena mempertahankan gaya hidup yang sudah kehilangan sponsornya.

Lalu ada Bu Rini, pensiunan guru matematika di Padang. Dari dulu hidupnya sederhana, tapi punya prinsip: "Kalau gaji kecil, berarti gaya hidup harus lebih kecil lagi." Ia mulai menabung dari awal karier lewat arisan kecil dan kebun cabe belakang rumah. Sekarang, masa pensiunnya tak bergantung pada anak, malah anaknya yang suka minta cabe gratis dari ibu. Hidupnya tenang, bukan karena kaya, tapi karena waras.

Nah, di sinilah letak paradoks kita. Kita mengira pensiun bahagia itu urusan angka di rekening, padahal sebagian besar soal mindset. Banyak yang lupa bahwa masa pensiun bukan waktu berhenti bekerja, tapi waktu berhenti bergantung pada orang lain untuk bertahan hidup.

Ada satu kisah inspiratif lagi: Pak Seno, mantan karyawan pabrik semen di Padang Panjang. Jauh sebelum pensiun, dia mulai hobi beternak lele di kolam kecil belakang rumah. Awalnya cuma buat hiburan, tapi lama-lama jadi tambahan penghasilan. Begitu pensiun, ia malah lebih sibuk dari sebelumnya---tapi sibuknya milik sendiri, bukan punya atasan. "Dulu saya kerja ke pabrik, sekarang pabrik kecil saya ada di rumah," katanya sambil tertawa.

Dari situ saya belajar satu hal: pensiun bahagia itu tidak datang dari polis asuransi, tapi dari kebiasaan kecil yang terus diulang. Tabungan bukan sekadar nominal, tapi cara berpikir. Kalau kita terbiasa menunda keinginan kecil hari ini, kita sedang menyiapkan kenyamanan besar di masa depan.

Namun tentu, teori tanpa aksi itu seperti daftar diet di kafe: dibaca sambil makan kue keju. Maka izinkan saya, sebagai profesor yang sudah pensiun dari jabatan tapi belum pensiun dari logika, memberi beberapa solusi nyata---bukan slogan manis:

  1. Mulailah latihan hidup dengan satu sumber pendapatan. Kalau masih kerja dan punya dua---gaji dan tunjangan---anggap tunjangan itu tidak ada. Tabung semuanya. Ini simulasi kecil yang akan melatih Anda menghadapi masa pensiun dengan shock yang lebih lembut.
  2. Bikin "proyek kecil produktif". Tak perlu startup atau toko online. Bisa kebun cabai, ternak lele, sewa kamar, atau jadi mentor. Prinsipnya: setiap keterampilan hidup punya potensi ekonomi kalau dibungkus niat serius.
  3. Bangun jaringan sosial yang sehat sebelum jantung melemah. Banyak pensiunan depresi bukan karena miskin uang, tapi karena kehilangan fungsi sosial. Nongkronglah di warung kopi, gabung komunitas, ajar anak muda. Kehadiranmu mungkin lebih berharga dari nasihatmu.
  4. Hiduplah sederhana sebelum keadaan menyederhanakanmu. Kalau sudah bisa bahagia dengan nasi goreng dan teh manis, kamu akan tetap bahagia bahkan tanpa gaji.

Dan terakhir, rawat humor. Karena pensiun tanpa tawa itu seperti teh tanpa gula---pahit tapi tetap harus diminum.

Jadi, apakah pensiun bahagia itu mitos? Tidak, Boss. Ia nyata---tapi hanya bagi mereka yang berhenti menganggapnya sebagai produk finansial, dan mulai mengolahnya sebagai gaya hidup. Karena sejatinya, masa tua yang bahagia bukan hasil dari premi yang Anda bayar, tapi dari kebijaksanaan yang Anda kumpulkan di sepanjang perjalanan.

Dan jika suatu hari nanti Anda duduk di beranda, menyeruput kopi, sambil tersenyum melihat rekening yang tidak spektakuler tapi cukup---maka selamat, Anda telah menemukan paket pensiun paling langka di dunia: Paket Kesadaran dan Akal Sehat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline