Lihat ke Halaman Asli

Syaiful Anwar

Dosen FEB Universitas Andalas Kampus Payakumbuh

Industri Manufaktur tanpa Emisi?

Diperbarui: 9 September 2025   03:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi itu, embun menempel di atap baja pabrik tekstil yang sejak semalam dingin akibat pemadaman listrik bergilir. Mesin-mesin belum menyala, bukan karena teknisinya takut, tetapi karena rembet sesak: regulasi yang menjerat, biaya energi fosil yang membumbung, dan mimpi transisi hijau yang tampak terlalu jauh untuk dicapai.

Sebelumnya, pemerintah telah memproklamirkan bahwa industri manufaktur---penyumbang sekitar 30% emisi CO nasional---harus menjadi ujung tombak dalam transformasi ekonomi rendah karbon Media Indonesia. Bahkan, melalui kolaborasi dengan WRI dan IESR, Kemenperin telah menyusun Peta Jalan Dekarbonisasi Industri yang menargetkan pencapaian nol emisi bersih pada tahun 2050, lebih cepat dari target nasional 2060 WRI Indonesia.

Namun mimpi itu sulit diwujudkan jika setiap pagi kita masih terjebak oleh riak-riak realitas:

  • Sektor industri seperti semen, tekstil, logam, dan makanan-minuman ditempatkan dalam fokus dekarbonisasi---namun sumber energi bersih masih lamban menembus lapisan produksi WRI Indonesiapantau.com.
  • Berapa sering pabrik-pabrik kecil ingin memasang panel surya, namun kolom birokrasi dan rendahnya pasokan gas industri (AGIT hanya sekitar 50--60%) membuat langkah hijau itu macet Kompas.
  • Di sisi lain, proyek seperti kawasan industri "hijau" di Kalimantan masih mengandalkan batu bara sebagai tenaga awal, sehingga julukan hijau terasa terlalu dini dan hipokrit AP News.

Di tengah gemuruh mesin yang berhenti, kini saatnya kita merenung: apakah industri manufaktur bisa bertahan---bahkan tumbuh---tanpa emisi? Jawabannya bukan mitos futuristik, melainkan kombinasi dari visi yang menyentuh realitas sehari-hari, kebijakan yang berpihak, serta teknologi yang terjangkau.

Teori & Praktik Hijau: Dari IPPU hingga IoT

Menurut data, 34% emisi nasional datang dari sektor industri, terutama dari proses pembakaran energi (46%), listrik (16%), dan proses kimia (38%) WRI Indonesia. Dari perspektif teori inovasi berkelanjutan (sustainable innovation), pendekatan seperti closed-loop production, penggunaan ulang material, dan anti-polusi adalah inti dari manufaktur rendah karbon Wikipedia.

Beberapa teknologi praindustri 4.0---seperti Internet of Things (IoT), AI, dan sistem perencanaan canggih---telah terbukti menurunkan konsumsi energi dan limbah secara signifikan. Studi terbaru menunjukkan pengurangan energi hingga 18%, downtime berkurang 22%, dan efisiensi sumber daya meningkat 15% arXiv.

Pabrik Ericsson di AS, misalnya, menggabungkan panel surya, sensor pintar, dan analisis data untuk mengurangi emisi Lingkup 1 dan 2, sekaligus meningkatkan produktivitas INCIT. Sementara itu, sistem APS dan prinsip 3R (ReduceReuseRecycle) membantu memperkecil limbah, memperkuat ekonomi sirkular, serta efisiensi energi dan air Industri Teknik Unimma.

Di level domestik, perusahaan seperti PT Sinar Sosro mengolah ampas teh menjadi kompos, Garudafood memasang PLTS atap, dan Kausa Indonesia mengandalkan bahan daur ulang dalam produknya Manufacturing Indonesia. Di sektor kimia, Petrokimia Gresik mengembangkan sistem "Jet Scrubber" dan "Smart XScrubber" untuk memangkas emisi berbahaya---sebuah pencapaian teknologi lokal yang tak boleh diremehkan Reddit.

Solusi Inklusif dan Nyata -- Memadukan Ekonomi dengan Lingkungan

1. Audit dan Pelaporan Emisi yang Disiplin
Pabrik sekarang diwajibkan melaporkan emisi lewat SIINas, dengan sistem Continuous Emission Monitoring (CEMS) menjadi alat pengawasan utama. Ini adalah pijakan penting bagi transformasi nyata Antara News+1.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline