Lihat ke Halaman Asli

syafiqa aqila

Mahasiswa

Kehidupan Digital dan Tantangan Generasi Z di Era Media Sosial (Pengembangan)

Diperbarui: 5 Oktober 2025   08:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Parenting. Sumber ilustrasi: Freepik

         Media sosial sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan modern. Platform seperti Instagram, TikTok, dan Twitter bukan hanya alat komunikasi, tapi lingkungan sosial yang membentuk cara kita melihat diri sendiri, orang lain, dan dunia. Generasi Z (lahir pertengahan 1990-an sampai awal 2010-an) tumbuh di tengah transformasi teknologi internet—mereka bukan hanya konsumen konten, tapi juga pencipta dan kurator pengalaman digital.

           Manfaat media sosial banyak: ekspresi diri, peluang usaha, akses informasi global. Tapi risiko nyata juga muncul: tekanan sosial, kesehatan mental, penyebaran hoaks, hingga kebutuhan validasi yang terus-menerus. Hal-hal ini membuat Generasi Z perlu lebih bijak dan kritis dalam kehidupan digitalnya.

A. Media Sosial sebagai Identitas Generasi Z dan Kebutuhan Validasi

           Salah satu fungsi media sosial bagi banyak anak muda adalah sebagai ruang pertunjukan identitas. Mereka menggunakan konten visual (foto, video), status, story, reels, untuk membangun citra diri yang ideal—baik dari segi penampilan, gaya hidup, maupun interaksi sosial.

            Kebutuhan akan validasi eksternal jadi bagian dari dinamika ini. Validasi di sini bisa berupa jumlah like, komentar, followers, share, repost, dan bentuk pengakuan digital lain. Validasi eksternal seperti itu bisa memberi rasa diterima, dihargai, atau setidaknya “tidak ketinggalan”.

            Namun, ketika validasi eksternal menjadi tolok ukur mutu diri atau nilai seseorang, identitas digital bisa menjauh dari identitas asli. Orang mungkin merasa gagal apabila postingannya kurang mendapat respons, merasa tidak pernah “cukup”, dan merasa harus selalu mengikuti tren supaya dianggap “oke” oleh orang lain.

Data menunjukkan bahwa fenomena ini bukan sekadar anekdot:

  • Survei IDN Media / Populix menunjukkan bahwa sebagian besar Gen Z di Indonesia mengakses media sosial lebih dari 3 jam sehari. 
  • Ada juga yang disebut “online kronis” (lebih dari 10 jam) meskipun persentasenya kecil (sekitar 5 %)—ini menunjukkan betapa intensnya keterikatan terhadap media sosial. 
  • Suatu penelitian kualitatif tentang Instagram dan hiperealitas menemukan bahwa representasi simbol dan konten di Instagram menciptakan tekanan untuk validasi antar teman lewat like, komentar, atau jumlah pengikut. 

B. Dampak Negatif Media Sosial bagi Generasi Z

1. Kesehatan Mental

 Tekanan untuk selalu tampil menarik / “terlihat baik” di media sosial bisa memicu stres, cemas, rasa rendah diri. Ini dikenal sebagai Fenomena Fear of Missing Out (FOMO): rasa takut tertinggal, padahal realitas unggahan orang lain sering dikurasi dan diedit sehingga tidak selalu mencerminkan realitas.Penelitian di Indonesia menemukan bahwa banyak remaja yang mengalami gejala kecemasan dan depresi terkait penggunaan media sosial. Misalnya, 95,4 % remaja usia 16-24 tahun melaporkan pernah mengalami gejala kecemasan; 88 % pernah mengalami gejala depresi. 

2. Ketergantungan Digital

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline