Lihat ke Halaman Asli

Syaefunnur Maszah

Senior Human Capital Strategist, Sekjen Parsindo, Wakil Ketua Peradi DPC

Zohran Mamdani & Strategi Politik Memenangi Kota New York

Diperbarui: 30 Juni 2025   09:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Zohran Mamdani, memenangi pemlihan pendahuluan dari Demokrat (Sumber: Shuran Huang untuk The New York Times)

Di tengah konstelasi politik Amerika Serikat yang kerap didominasi oleh tokoh-tokoh mapan dan elite partai, sosok muda bernama Zohran Mamdani tiba-tiba mencuat sebagai calon kuat Wali Kota New York City dari Partai Demokrat. Ia bukan hanya berhasil menarik simpati dari kalangan progresif, tetapi juga berhasil menembus komunitas pemilih yang selama ini cenderung sulit dijangkau oleh kandidat baru. Mamdani tidak sekadar mengikuti arus politik---ia sedang mengukir arah baru dalam lanskap demokrasi urban Amerika.

Dengan usianya yang baru 33 tahun, serta latar belakang sebagai imigran Muslim---anak pasangan keturunan India yang lahir di Uganda---Mamdani tampil sebagai representasi generasi baru pemimpin kota global. Ia bukan hanya bicara soal keadilan sosial, tetapi juga hadir secara nyata di tengah komunitas. Dari Bronx hingga Brooklyn, dari masjid-masjid hingga pusat komunitas Latin dan Asia Selatan, ia hadir bukan sekadar berpidato, tapi mendengarkan. Dan dari mendengarkan itulah ia membangun gerakannya.

Sebagaimana dilaporkan dalam artikel The New York Times berjudul "How Zohran Mamdani Brought New Voters to the Polls", terbit 29 Juni 2025 dan ditulis oleh Emma G. Fitzsimmons, Alex Lemonides, dan Irineo Cabreros, Mamdani berhasil menarik puluhan ribu pemilih baru ke tempat pemungutan suara (TPS). Dalam dua pekan menjelang tenggat pendaftaran pemilih untuk pemilihan pendahuluan Partai Demokrat, tercatat lebih dari 37.000 orang mendaftar, jauh lebih tinggi dibandingkan 3.000 orang pada periode yang sama tahun 2021. Kampanyenya secara sistematis menyasar mereka yang sebelumnya apatis terhadap politik lokal: anak muda, warga imigran, dan komunitas pekerja urban yang frustrasi dengan biaya hidup dan kebijakan kota yang tidak inklusif.

Keberhasilan ini tidak datang dari strategi biasa. Mamdani menjalankan pendekatan grassroots mobilization yang sistematis dan adaptif. Ia mengandalkan 46.000 relawan tanpa bayaran yang menyebarkan pesan kampanye dalam tujuh bahasa berbeda, termasuk Urdu, Bengali, dan Spanyol. Pendekatan ini sejalan dengan teori Mobilisasi Sosial dari Sidney Tarrow, yang menyatakan bahwa gerakan sosial yang berhasil membutuhkan kombinasi antara jaringan horizontal, peluang politik, dan narasi yang resonan dengan kebutuhan masyarakat. Mamdani melakukan semua itu dengan presisi.

Lebih jauh, ia menunjukkan bahwa Partai Demokrat masih punya peluang besar untuk merebut kembali kepercayaan basis masyarakat urban melalui pendekatan yang tulus dan membumi. Dalam konteks ini, Mamdani bukan hanya menawarkan semangat perubahan, tapi juga format baru dalam cara partai menjangkau pemilih. Ia menampilkan wajah Demokrat yang dekat dengan rakyat, multikultural, dan transformatif.

Namun, jalan menuju kursi wali kota belum sepenuhnya mulus. Mamdani masih harus menghadapi pemilihan umum pada November nanti, yang akan jauh lebih berat karena diikuti oleh spektrum pemilih yang lebih luas. Seperti yang dialami India Walton di Buffalo pada tahun 2021---menang di pemilihan pendahuluan tapi dikalahkan oleh petahana dalam pemilu umum melalui strategi penantangan independen---Mamdani bisa saja menghadapi skenario serupa. Terlebih, Eric Adams, wali kota petahana yang kini mencalonkan diri kembali sebagai kandidat independen, memiliki jaringan politik dan finansial yang luas.

Namun, Mamdani tidak datang tanpa persiapan. Ia telah mengamankan dukungan institusional yang lebih kuat, termasuk dari senator progresif Bernie Sanders dan beberapa serikat pekerja besar di New York. Ia juga berhasil mempertahankan narasi bahwa dirinya bukan sekadar simbol identitas, tapi pemimpin yang membawa agenda konkret---seperti pembekuan sewa pada unit-unit hunian stabil, penguatan transportasi publik, dan reformasi pelayanan kota---yang menyentuh langsung kebutuhan warga.

Faktor dukungan publik menjadi kekuatan penting Mamdani. Banyak pemilih muda dan imigran melihat dirinya sebagai cerminan aspirasi dan harapan mereka. Mamdani tidak tampil sebagai tokoh elit, melainkan sebagai "warga kota" yang berjuang bersama komunitasnya. Ia melibatkan para pemilih dari berbagai latar belakang, termasuk yang sebelumnya mendukung Trump, dengan pendekatan yang terbuka, empatik, dan konsisten.

Yang juga menarik, Mamdani memanfaatkan media sosial bukan sekadar sebagai alat promosi, melainkan sebagai ruang partisipasi politik. Video kampanye multibahasa yang ia unggah menunjukkan upaya sungguh-sungguh untuk berkomunikasi dengan warga kota yang beragam, bukan dengan pendekatan kosmetik, melainkan dengan rasa hormat terhadap budaya dan bahasa mereka.

Jika Mamdani mampu menjaga momentum, memperluas dukungan dari komunitas kulit hitam yang masih cenderung ke kandidat lama, serta memperkuat kepercayaan publik lewat dialog dan kerja lapangan, maka peluangnya untuk menjadi Wali Kota New York sangat terbuka lebar. Ia telah melampaui sekadar perolehan suara---ia membentuk energi sosial yang mengakar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline