Jambi Seberang, 28 Mei 2025 --- Di tengah derasnya arus globalisasi dan modernisasi, satu warisan budaya dari Jambi Seberang tetap berdiri teguh dan anggun: tengkuluk. Kain penutup kepala yang biasa dikenakan oleh perempuan Melayu Jambi ini bukan sekadar pelengkap busana, melainkan simbol identitas, kehormatan, serta pengetahuan budaya yang diwariskan lintas generasi.
Tengkuluk, yang juga dikenal dengan nama kuluk di beberapa daerah, memiliki makna mendalam dalam kehidupan masyarakat Jambi. Di wilayah Jambi Seberang --- kawasan yang terletak di seberang Sungai Batanghari dan dikenal sebagai pusat budaya tradisional Melayu Jambi --- penggunaan tengkuluk masih lestari, terutama dalam acara adat, pernikahan, dan upacara keagamaan.
Filosofi dan Ragam Gaya Lipatan
Tidak banyak yang tahu bahwa tengkuluk tidak hanya satu bentuk. Di Jambi Seberang, terdapat lebih dari 40 gaya lipatan tengkuluk, masing-masing memiliki nama, makna, dan fungsi tersendiri. Beberapa di antaranya adalah Tengkuluk Pucuk Rebung, Tengkuluk Sanggul Lintang, dan Tengkuluk Tanduk Kambing.
"Lipatan tengkuluk bukan sembarangan. Perempuan yang mengenakannya harus tahu kapan dan dalam acara apa ia boleh memakai jenis lipatan tertentu," ujar Hj. Nuraini, seorang pengrajin tengkuluk yang juga pelestari budaya dari daerah Olak Kemang, Jambi Seberang. Ia menambahkan bahwa lipatan yang tinggi menunjukkan status sosial, sementara lipatan yang lebih sederhana biasanya digunakan sehari-hari atau saat berkabung.
Setiap lipatan dibuat dengan penuh ketelitian dan dilipat secara manual menggunakan sehelai kain panjang berbahan katun atau sutra. Warna dan motifnya pun bervariasi, dengan corak khas Melayu yang sarat simbolisme --- mulai dari bunga teratai, pucuk rebung, hingga motif awan berarak yang mencerminkan hubungan manusia dengan alam.
Tantangan di Tengah Modernisasi
Meskipun tengkuluk memiliki nilai estetika dan budaya tinggi, tak dapat dipungkiri bahwa generasi muda mulai melupakan kegunaan dan maknanya. "Sekarang anak-anak muda lebih senang memakai hijab instan atau aksesori modern. Tengkuluk dianggap kuno," ungkap Yuliana, guru seni budaya di salah satu SMA di Kota Jambi.
Padahal, tengkuluk bukan sekadar penutup kepala, tapi juga media komunikasi budaya. Cara mengenakannya, waktu penggunaannya, bahkan cara melepasnya, semua memiliki nilai dan pesan tersendiri. Jika dilupakan, maka hilanglah satu lapis identitas budaya Melayu Jambi yang telah berusia ratusan tahun.
Beberapa upaya revitalisasi telah dilakukan oleh pemerintah daerah dan komunitas budaya, seperti mengadakan Festival Tengkuluk, workshop melipat tengkuluk di sekolah-sekolah, hingga pementasan busana tradisional. Di Jambi Seberang, beberapa sanggar budaya juga mulai mengajarkan keterampilan melipat tengkuluk kepada generasi muda, termasuk di antaranya Sanggar Sekapur Sirih dan Lembaga Adat Melayu Jambi.