Lihat ke Halaman Asli

Satrio Wahono

magister filsafat dan pencinta komik

Reshuffle Menteri, Momen Merampingkan Koalisi

Diperbarui: 1 Juli 2025   11:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Belakangan ini, dunia politik kita diramaikan oleh isu soal keinginan Presiden Prabowo Subianto untuk mengganti (reshuffle) menteri-menterinya yang kurang berkinerja baik. Ini sebenarnya isu menggembirakan mengingat memang ada sejumlah menteri yang justru membuat gaduh dan tidak berkinerja prima. Artinya, Presiden juga menyerap keluhan-keluhan riil dalam masyarakat. Apalagi, umur pemerintahan yang sudah sembilan bulan sebetulnya meniscayakan evaluasi dan penyegaran.

Selain itu, reshuffle menteri sesungguhnya bisa menjadi momentum tepat bagi Presiden untuk merampingkan koalisi. Pasalnya, koalisi Presiden yang terlalu gemuk terbukti tidak berkorelasi dengan kinerja mumpuni selama ini.

Sudah menjadi pengetahuan umum dalam ilmu politik bahwa satu sistem pemerintahan presidensial dalam format politik multipartai, seperti di Indonesia, meniscayakan adanya koalisi antarpartai politik demi menjamin kestabilan pemerintahan dan kelancaran perumusan kebijakan. Masalahnya, koalisi politik di negeri ini kerap disamakan dengan aksi bagi-bagi kursi posisi strategis yang sarat kepentingan sehingga kepentingan bangsa dan masyarakat luas acapkali tergadaikan oleh kepentingan sempit golongan. Alhasil, koalisi yang melibatkan terlalu banyak pihak seringkali tidak disarankan. Sebab, itu akan menambah banyak jumlah pihak yang sering menuntut konsesi. 

Namun, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto sedari awal justru membentuk koalisi besar. Hampir semua partai politik diberikan jatah menteri maupun wakil menteri, kecuali PDI-P yang itu pun belum jelas menyatakan diri sebagai oposisi. Artinya, sekitar 84 persen partai di parlemen berada di belakang pemerintahan. Bahkan partai yang tidak mendapat kursi di parlemen seperti PSI, Gelora, Partai Prima, PBB pun mendapatkan jatah kursi di kabinet. Jelas, ini menandakan koalisi pemerintah Prabowo sudah berlebihan asupan alias tambun. Apa konsekuensi dari hal ini? 

Teori koalisi

 Merujuk Denny Indrayana yang mengutip Sartori (dalam Indonesia Optimis, Bhuana Ilmu Populer, 2014), koalisi tambun (oversized coalition) berpotensi menghasilkan praktik bagi-bagi kekuasaan dan politik transaksional yang dapat secara negatif memengaruhi pemerintahan. Oleh karena itu, koalisi seyogianya tidak terlalu tambun. Di sisi lain, koalisi juga tidak boleh terlalu kecil karena bisa berujung pada ketidakstabilan politik. Pasalnya, pemerintah dapat "digoyang" oleh lawan-lawan politiknya yang menguasai parlemen. 

Jalan tengah terbaik di antara keduanya adalah membangun koalisi mayoritas minimal (minimal winning coalition) sebesar kira-kira 60-an persen saja. Dengan minimal-winning coalition, jumlah kursi di parlemen sudah cukup untuk menjamin kestabilan politik dan jumlah pihak yang tergabung di dalam koalisi tidak terlalu besar sehingga bisa menghindari politik bagi-bagi jabatan.

Sekilas, teori ini tampak benar dan bisa menjelaskan mengapa koalisi tambun lebih banyak negatifnya. Akan tetapi, ada satu hal yang terlupa. Yaitu, tidak ada jaminan partai-partai pendukung koalisi akan setia selamanya. Selalu ada kemungkinan anggota partai koalisi pendukung pemerintah bersuara sumbang terhadap kebijakan pemerintah, meskipun mereka mengaku tetap di dalam koalisi. 

Inilah yang misalnya terjadi pada fraksi PKS dan Golkar di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono jilid II. Jika hal ini terjadi pada koalisi minimal-winning, koalisi justru bisa menjadi kekecilan.  

Berdasarkan kelemahan teori koalisi di atas, pertanyaan apakah koalisi Prabowo saat ini tambun atau tidak sejatinya tergantung pada keyakinan Presiden terhadap kesolidan koalisinya. Dinamika politik yang sering tak tertebak membuat koalisi pendukung pemerintah akan terus berfluktuatif dari minimal-winning coalition ke koalisi tambun, tergantung pada isu-isu apa yang ada di antara Presiden dan partai pendukungnya.

Masalahnya saat ini adalah stok yang dicadangkan Presiden untuk mengantisipasi "pembelotan" anggota koalisi itu terlalu besar di angka 20-an persen (84 persen --- 60 persen minimal winning coalition). Pencadangan yang terlalu besar ini lantas berpotensi melahirkan kartel politik. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline