Lihat ke Halaman Asli

Bangsa yang Rela Menderita Demi Pembelian Cita-cita

Diperbarui: 24 Juni 2015   10:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Hari ini lumayan terinspirasi dari cerita singkat dosen management tentang asal muasal lahirnya ilmu management.

Kenapa management lahir dari barat (yang rata-rata negara 4 musim)? Ini pertanyaan awalnya.

Kami sekelas diam, hanya menunggu jawaban saja.

Simple tapi cukup menggelitik, dan jawabannya sempet bikin saya lumayan mikir tentang negara kita.

Jawabannya kira-kira begini :

“Orang timur itu (bicara yang rata-rata tinggal di tropis/dua musim yah, walau ada juga yang 4 musim), habis makan duren, buang aja bijinya ke tanah, gak lama tumbuh tuh buah yang baru, bisa dimakan atau di jual ke luar. Kalau tropis atau dua musim,tanam padi atau kentang, setahun minimal bisa panen raya dua kali atau lebih. Makmur toh seharusnya? alamnya mendukung...

Di negara 4 musim? Boro-boro... Masih panen raya setahun sekali aja uda syukur banget. Apalagi kalau musim dingin datang, mereka harus prepare lebih banyak karena masalah suhu kadang menghalang mereka buat beraktivitas. Matahari terbit kira-kira jam 9 pagi, lalu jam 2 siang, langit sudah mulai gelap lagi (berdasarkan pengalaman beliau), winter itu paling susah membangun semangat kerja karena suhu dan suasana itu benar-benar cocok buat hibernasi, kalau keluar rumah tuh rasanya badan gak kuat melawan dinginnya, meludah aja belum sampai tanah sudah jadi es (hehehe).

Dari situlah orang-orang di negara 4 musim mulai memutar otak tentang bagaimana mengatur efektivitas dan efisiensi kerja di dalam situasi musim-musim itu, dan bagaimana melihat keunggulan dan kelemahan negara mereka untuk terus survive bahkan bergerak maju.”

Banyak mikir vs banyak malas,  mungkin ini point utamanya yang membedakan.

Mungkin dulu, yang banyak mikir itu mati-matian membangun strategi untuk bisa survive atau bahkan maju, melawan semua keterbatasan dan menantang diri untuk berkembang.

Mungkin juga dulu, yang banyak malas + ketolong sama “kondisi alam yang strategis”, jadi semakin santai dan “lupa” untuk maju, akhirnya yang “sana” maju pesat, yang “sini” mulai dijajah dan gak siap untuk bertahan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline