Lihat ke Halaman Asli

Ketika Millenial Menjadi Petani Kota

Diperbarui: 17 November 2021   09:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Petani (idntimes.com)

Dapatkah kita membayangkan bila suatu hari nanti negara kita akan mengimpor beras dari luar negeri? Hal ini dapat terjadi karena dari tahun ke tahun terjadi migrasi penduduk usia muda dari desa ke kota. Alasannya, mereka sudah tidak mempunyai tanah lagi, kalaupun bercocok tanam di desa hanyalah menjadi buruh tani bagi orang kota. Bahkan kecenderungan yang timbul di desa, penduduk usia muda enggan menjadi buruh tani dan merasa lebih bergengsi bila bekerja di kota, meski hanya sebagai sopir angkutan kota, karyawan rumah makan, atau membuka warung Tegal di kota.

Hampir sebagian besar generasi muda yang berasal dari desa tidak mau bercita-cita lagi sebagai petani. Bahkan bangku di perguruan tinggi Fakultas Pertanian makin lengang. Seorang teman yang bekerja di Bappenas bahkan memperkirakan profesi petani lambat laun akan menghilang.

Meski minat bertani semakin menurun, namun akhir-akhir ini terjadi gerakan yang cukup menarik, ada sebagian generasi milenial di Indonesia yang melirik bidang ini meski mereka tinggal kota. Mereka menggemari bercocok tanam, dan mengunggah temuan-temuannya dalam mengembangkan pola bercocok tanam melalui daring. Mereka juga memanfaatkan lahan yang terbatas di kota untuk bercocok tanam, yang mereka tanam bukannya beras, jagung atau ketela yang mrrupakan sumber pangan masyarakat, namun mereka lebih tertarik menjadi petani buah dan sayur.  Jadi, mereka menembangkan konsep berkebun sayuran dengan sistem hidroponik dan buah-buahan, seperti melon, kelengkeng, pisang, pepaya, nenas, mangga,zaitun dan strawberry bahkan bunga seperti mawar yang banyak dibutuhkan florist.

Dengan berkebun para millenial ini mempelajari proses, yang tidak serba instan, dari menyebar benih, mengamati pertumbuhan hingga memanen hasilnya. Salah satu yang menjadi kebanggaan mereka, mereka dapat menghasilkan tanaman organik yang banyak mereka konsumsi.

Hal ini menjadi pola gaya hidup mereka, sehingga merekapun lalu membina hubungan dengan pasar swalayan atau bahkan memasarkan secara daring buah-buahan dan sayuran organik. Dan pasar swalayan menyambut baik dan mereka bermitra, jadi mereka menjadi pemasok utama sayur dan buah-buahan pada pasar swalayan, serta sekaligus memasarkannya sendiri via daring hasil dari kebun  mereka.

Mereka bangga menjadi petani kota yang mampu menghasilkan hasil panen organik yang sangat dubutuhkan oleh kalangan mereka. Kebunnya juga bersih dan tertata rapi, berbeda dengan kondisi di desa di masa silam yang banyak bergelimang dengan lumpur dan tanahnya harus dicangkul atau dibajak terlebih dulu.

Kondisinya memang beda, mungkin kini tidak akan pernah melihar lagi petani yang menyiapkan lahannya, lalu bertanam secara tradisional menjaganya dari serangan hama serta melakukan sistem pengairan yang baik seperti subak di Bali. Lalu menemunya dan memawanya ke pabrik penggilingan.

Generasi milleneal memang melirik pola bercocok tabam untuk buah dan sayuran organik, harus ada pengarahan kepada tanaman sumber pangan tentunya agar konsep swa sembada pangan tetap terwujud di negara ini.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline