Sebenernya sore itu saya tak ingin menonton Film A Man Called Ahok. Pinginnya Nonton Film Fantastic Beast 2 yang format 3D. Tapi sampai bioskop film sudah berjalan 30 menit. Mau balik situasi diluar hujan, jadi ya sudahlah.. Sambil Menunggu Hujan reda saya memilih nonton film Ahok.
" Silahkan Dipilih Pak , Warna Putih Sudah terisi.. " ujar petugas tiket.
Agak lama saya menentukan pilihan kursi, untuk mencari2 yang warna putih. Ternyata hanya hanya ada 3 warna putih dari bioskop segedhe gambreng itu. Artinya baru 3 orang yang nonton. Padahal waktu putar film tinggal 20 menit lagi..
Dan benar, sampai film mulai diputar, hanya 4 orang yang duduk di kursi penonton. Padahal film ini banyak mendapat pujian dari situs rujukan imdb. Baru pada saat film diputar ada beberapa tambahan penonton.. kalau tidak salah ada 6 orang penonton lagi. Beberapa diantaranya berpasangan.. Jadi Praktis saaat itu penonton film ini sangat sedikit dan bisa dihitung dengan jari.
Melihat minimnya penonton, saya mencoba menaruh ekspetasi bahwa film ini akan menampilkan plot2 alur yang mengejutkan. Apalagi film dibuka dengan suara Ahok yang menceritakan tentang kondisinya di Mako Brimob. Saya menduga akan terdapat ledakan2 plot dari Film yang diadaptasi dari buku karya Rudi Valinka alias @kurawa dengan judul yang sama. Tapi sepanjang durasi film, alur film ini berjalan sangat datar. Bahkan konflik antar tokohnya menurut saya berjalan kurang natural. Bahkan pergantian masa dari Ahok Kecil menuju Ahok Dewasa terlihat sangat tiba-tiba.
Sebagai Film Biopic Film ini mencoba menampilkan Ahok secara utuh mulai dari Ahok kecil hingga dewasa. Ahok kecil ( Eric Febrian ) digambarkan sebagai anak yang penurut dan pendiam sementara sosok Kim Nam -- Ayah Ahok -- digambarkan sebagai orang yang emosional. Persis seperti Ahok yang kita lihat di televisi. Sampai pada bagian ini, cerita terkesan agak kontradiktif. Ahok kecil dilukiskan sebagai anak yang kalem, tetapi Ahok Dewasa digambaran sebagai sosok yang emosional dan meledak-ledak. Kontradiksi ini tidak mendapat penjelasan yang rasional dalam film ini.
Saya tidak mengerti mengapa sutradara menjatuhkan pilihan pada Daniel Mananta, sebagai pemeran Ahok . Bahkan sepanjang durasi, terlihat bahwa sutradara mencoba bertumpu sepenuhnya pada akting Daniel Mananta . Padahal saya melihatnya, Daniel hanya mampu menjangkau kemiripan suara Ahok yang sedikit serak, sementara postur tubuh sosok Ahok di film ini terlihat terlalu tinggi dan terlalu langsing. Hal serupa juga terjadi pada sosok Kim Nam Muda yang diperankan Denny Sumargo , dengan Kin Wah Chew yang berperan sebagai Kim Nam Tua. Denny Sumargo sosoknya terlalu tinggi jika dibandingkan dengan Kin Wah Chew.
Sebenarnya, film A Man Called Ahok ini bisa lebih bagus jika konflik dibangun lebih dahsyat. Misalnya antara sosok Kim Nam dengan Donny Damara selaku pejabat penguasa tambang. (Saya lupa nama sosok yang diperankan Donny. ) Tapi sutradara Putrama Tuta, kurang dalam mengeksploitir konflik ini. Selain itu, sutradara juga kurang dalam menggali emosi, ketika Kim Nam kehilangan Frans - anak bungsu yang tewas karena kecelakaan berkendara. Bahkan adegan berlangsung sangat teatrikal, dengan masuknya Ci Bun (Sinta Nursanti.) kedalam layar.
Sejak awal durasi hingga akhir Film, saya mencoba mencari benang merah film ini. Dan yang saya termukan justru tentang Kim Nam, seorang pengusaha kaya yang peduli terhadap rakyat Miskin. Tentang Ahok sendiri.. di film ini Ahok justru ditempatkan sebagai sosok pendamping, bukan sosok utama seperti judulnya. (*)
Sekian.. !!