Lihat ke Halaman Asli

Sri Rumani

TERVERIFIKASI

Pustakawan

Benarkah Generasi Milenial Tidak Mengenal Pancasila?

Diperbarui: 2 Juni 2018   20:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kejadian ini terjadi tahun 2012, dalam siaran berita  TV swasta ditayangkan seorang anak SD diminta melafalkan sila-sila Pancasila yang gelagapan, bukan karena gagu tetapi tidak hafal atau tidak mengerti isi lima sila dari Pancasila. Kemudian reporter TV memindahkan microphone ke teman sebelahnya, ternyata juga belum berhasil menyebutkan kelima sila Pancasila. Baru giliran anak ke tiga bisa menyebut dengan lafal terpatah-patah. Berita itu disiarkan oleh stasiun televisi swasta pada tanggal 1 Juni, bertepatan dengan hari lahir Pancasila.    

Ilustrasi tersebut menjadi bukti, Pancasila kurang populer dikalangan generasi milenial yang akrab dengan gadget yaitu perangkat teknologi komunikasi seperti handphone/HP, Iphone, Ipad. Kondisi ini sungguh memprihatinkan. 

Pancasila yang telah dirumuskan oleh para pendiri bangsa (founding father), mulai tercerabut dari sanubari anak-anak Indonesia. Ada apa dengan Pancasila ? Mengapa pemahaman Pancasila mulai merosot ?. Siapa yang bertanggung jawab, untuk mengenalkan sila-sila Pancasila ?. Orang tua, guru, tokoh masyarakat sebagai tri pusat pendidikan generasi milenial.

Generasi “baby bomer”, generasi X, generasi Y, masih sering melafalkan sila-sila dari Pancasila pada setiap upacara bendera. Pancasila bukan sekedar dilafalkan, tetap harus dihayati, dipahami, dan diamalkan. 

Sila-sila Pancasila merupakan keputusan politik para tokoh pendiri bangsa yang mewakili alim ulama dan nasionalis. Pancasila sebagai pedoman hidup (way of life), dalam bertingkah laku, tindak tanduk bagi para pemimpina dan seluruh rakyat Indonesia. Agar mudah dimengerti, dipahami dan diamalkan, ke-5 sila Pancasila dijabarkan dalam 36 butir-butir Pancasila..

Ke-36 butir-butir Pancasila, dicetak, dipajang di kelas-kelas untuk memudahkan memahami dan mengamalkan Pancasila, yang pada zaman Orba menjadi hafalan wajib siswa sekolah. Waktu itu dikenal juga ada Ekaprasetia Pancakarsa atau Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4), yang ditetapkan dengan Tap MPR No.II/MPR/1978. 

Namun 36 butir-butir tersebut telah dicabut dan digantikan dengan 45 butir-butir Pancasila, ada perubahan dan penambahan dari hasil Tap MPR No.1/MPR/2003. Sila pertama ada 7 butir, sila kedua 10 butir, sila ketiga 7 butir, sila keempat 10 butir, sila kelima 11 butir.

Reformasi yang konon alergi status quo dan Ode Baru, Pancasila “seakan” mulai dimarjinalkan. Hal ini senada dengan pidato SBY pada Peringatan Lahirnya Pancasila 1 Juni 2006 dalam As’ad Said Ali (2009:4) menyatakan:”Kita merasakan, dalam delapan tahun terakhir ini, ditengah-tengah gerak reformasi dan demokratisasi yang berlangsung di negeri kita, terkadang kita kurang berani, kita menahan diri, untuk mengucapkan kata-kata semacam Pancasila, UUD 1945, NKRI, Bhineka Tunggal Ika, Wawasan Kebangsaan, Stabilitas, Pembangunan, Kemajemukan dan lain-lain. Karena bisa-bisa dianggap tidak sejalan dengan gerak reformasi dan demokratisasi. Bisa-bisa dianggap tidak reformis”.

Untuk lebih meneguhkan Pancasila sebagai pedoman dalam menjalankan kehidupan bermasyarat, bernegara, maka di keluarkan Keputusan Presiden (Keppres) No.24 Tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila, menetapkan bahwa tanggal 1 Juni 1945 sebagai Hari Lahir Pancasila, merupakan hari libur nasional, dan Pemerintah bersama seluruh komponen bangsa dan masyarakat Indonesia memperingati Hari Lahir Pancasila. 

Keppres ini muncul berdasarkan pertimbangan bahwa Pancasila sebagai ideologi Negara RI harus diketahui asal-usulnya oleh generasi milenial. Lahirnya Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara asal usulnya oleh bangsa Indonesia dari waktu ke waktu dari generasi ke generasi, sehingga kelestarian dan kelanggengan Pancasila senantiasa diamalkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Disisi lain, Pancasila masih mempunyai energi untuk mempersatukan Indonesia yang multi agama, ras, suku, bahasa, budaya, pandangan politik. Hal ini bisa dibuktikan setiap terjadi tragedi kemanusiaan karena konflik sosial, konflik politik, bencana alam, musibah kecelakaan, sila “Persatuan Indonesia dan sila Kemanusiaan yang adil dan beradab” langsung diaplikasikan di lokasi kejadian. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline