Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diluncurkan pemerintah menjadi sorotan publik dalam beberapa bulan terakhir. Ide dasarnya sederhana dan mulia, yaitu memastikan anak-anak sekolah mendapatkan asupan gizi yang cukup agar tumbuh sehat, cerdas, dan mampu belajar dengan baik. Tidak ada yang menolak bahwa gizi adalah faktor penting dalam mencetak generasi unggul. Namun, ketika niat baik itu diwujudkan dalam skema nasional dengan anggaran ratusan triliun rupiah, muncul pertanyaan besar yakni apakah program ini efisien, tepat sasaran, dan benar-benar memberi manfaat maksimal?
Dari sisi anggaran, MBG menyedot dana yang sangat besar dari APBN. Anggaran pendidikan dan kesehatan yang sebelumnya sudah terbatas kini harus berbagi ruang dengan program ini. Dalam ilmu ekonomi, kita mengenal konsep opportunity cost atau biaya peluang. Artinya, ketika dana triliunan rupiah dialokasikan untuk satu program, maka ada program lain yang harus dikurangi atau ditunda. Pertanyaan mendasar apakah manfaat MBG lebih besar dibanding jika dana tersebut dipakai untuk memperbaiki fasilitas kesehatan dasar, meningkatkan kualitas guru, atau membangun infrastruktur pendidikan? Jika tidak hati-hati, justru akan terjadi pemborosan anggaran negara.
Masalah berikutnya muncul di lapangan. Implementasi program MBG tidak semudah membagikan makanan kepada jutaan siswa setiap hari. Proses pengadaan, distribusi, hingga pengawasan membuka celah masalah serius. Di beberapa daerah, ada laporan tentang kualitas makanan yang tidak layak, bahkan menyebabkan keracunan. Hal ini menunjukkan risiko nyata bahwa niat baik bisa berubah menjadi bencana kesehatan. Selain itu, mekanisme tender penyedia makanan juga rawan disalahgunakan, karena dana besar biasanya mengundang praktik korupsi atau permainan harga. Dalam konteks ini, program MBG bisa menjadi ladang baru bagi moral hazard, yaitu pihak-pihak yang hanya mengejar keuntungan tanpa peduli kualitas.
Dari sisi keadilan, kebijakan MBG juga perlu dipertanyakan. Program ini diberikan untuk semua siswa tanpa membedakan latar belakang ekonomi. Anak-anak dari keluarga kaya tetap menerima jatah makanan gratis, padahal mereka tidak membutuhkan bantuan tersebut. Dalam teori keadilan fiskal, hal ini dianggap kurang tepat sasaran. Anggaran negara seharusnya diprioritaskan untuk membantu kelompok rentan, seperti anak-anak dari keluarga miskin atau daerah tertinggal. Dengan begitu, dana yang terbatas bisa menghasilkan dampak yang lebih besar. Jika semua siswa menerima MBG tanpa pengecualian, maka yang terjadi adalah pemborosan sekaligus ketidakadilan dalam penggunaan dana publik.
Lalu, apa yang seharusnya dilakukan pemerintah? Menolak MBG secara total tentu tidak bijak, karena kebutuhan gizi anak memang nyata. Namun, perlu ada peninjauan ulang terhadap desain program. Pertama, sebaiknya program ini diarahkan khusus kepada keluarga miskin melalui skema bantuan gizi bersyarat. Misalnya, orang tua yang menyekolahkan anak dan memastikan anak hadir di sekolah akan mendapatkan subsidi khusus untuk membeli makanan bergizi. Kedua, pemerintah bisa mengembangkan program fortifikasi pangan lokal, misalnya menambah kandungan gizi pada beras, tepung, atau minyak goreng, sehingga seluruh masyarakat mendapat manfaat tanpa harus membagi makanan setiap hari di sekolah. Ketiga, voucher makanan untuk anak sekolah miskin juga bisa menjadi pilihan, karena lebih fleksibel dan mengurangi potensi kebocoran anggaran.
Tidak kalah penting, edukasi gizi dan kesehatan harus menjadi bagian utama. Anak-anak perlu diajari mengapa sayur, buah, dan protein penting untuk tubuh mereka. Orang tua pun perlu dilibatkan, agar pola konsumsi keluarga berubah ke arah yang lebih sehat. Tanpa edukasi, program MBG hanya bersifat sementara, sekadar mengenyangkan perut tanpa membentuk kesadaran jangka panjang. Padahal, tujuan besar yang ingin dicapai adalah generasi sehat, bukan sekadar kenyang sesaat.
Jika ditarik kesimpulan, Program MBG memang lahir dari niat baik, tetapi pelaksanaannya menimbulkan banyak tantangan serius. Dari sisi anggaran, program ini bisa mengorbankan sektor lain yang juga penting. Dari sisi pelaksanaan, muncul risiko kesehatan, penyalahgunaan dana, dan moral hazard. Dari sisi keadilan, MBG berpotensi memboroskan anggaran karena tidak fokus kepada kelompok yang benar-benar membutuhkan. Oleh karena itu, revisi dan evaluasi program menjadi sangat mendesak.
Pemerintah perlu membuka ruang diskusi dengan para ahli ekonomi, kesehatan, dan pendidikan untuk merumuskan ulang skema MBG yang lebih tepat sasaran dan berkelanjutan. Dengan begitu, niat baik untuk memberi gizi anak bangsa tidak berubah menjadi beban berat bagi negara. MBG bisa tetap berjalan, tetapi dengan format yang lebih bijak seperti fokus pada anak-anak miskin, berbasis pangan lokal, dan dibarengi edukasi gizi.
Akhirnya, masyarakat juga perlu sadar bahwa membangun generasi sehat tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah. Peran keluarga, sekolah, dan komunitas sangat besar dalam menanamkan kebiasaan hidup sehat. Program MBG bisa menjadi pemicu, tetapi tanggung jawab utama tetap ada pada semua pihak. Dengan sinergi yang baik, niat mulia memberi gizi bagi anak bangsa bisa benar-benar terwujud tanpa membebani negara secara berlebihan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI