Akhir-akhir ini media sosial sedang diramaikan oleh trend pacu jalur dimana banyak sekali pengguna yang ikut meramaikan dengan mengikuti gerakan yang dilakukan oleh anak yang berdiri diujung perahu saat perlombaan pacu jalur. Pacu jalur sendiri adalah tradisi lomba perahu panjang khas masyarakat Kuantan Singingi, Provinsi Riau, yang sudah ada sejak abad ke-17. Awalnya, Pacu Jalur bukan sekadar ajang perlombaan, melainkan bagian dari perayaan penting dalam kehidupan masyarakat setempat, seperti memperingati hari besar Islam, upacara adat, dan penyambutan tamu kehormatan kerajaan. Dalam sejarahnya, jalur sebutan untuk perahu panjang yang bisa memuat hingga 40--60 orang pendayung ini dibuat secara gotong royong oleh masyarakat desa dari batang kayu utuh. Pacu Jalur kemudian berkembang menjadi tradisi tahunan yang diadakan di Sungai Batang Kuantan, biasanya bertepatan dengan perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Dahulu, lomba ini juga menjadi simbol kekuatan, persatuan, dan kehormatan antar kampung di wilayah Kuantan Singingi. Setiap kampung akan mengirimkan perahu terbaiknya untuk berlomba, sekaligus mempererat hubungan sosial di antara masyarakat. Seiring waktu, Pacu Jalur mengalami perubahan bentuk dan makna. Jika dahulu hanya bersifat ritual dan kultural, kini Pacu Jalur juga menjadi atraksi wisata budaya, serta ajang promosi daerah. Pada tahun 2014, Pacu Jalur resmi ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, menegaskan posisinya sebagai warisan budaya yang patut dijaga, dilestarikan, dan dikembangkan.
Bagaimana Pacu Jalur bisa viral? Awalnya mungkin konten-konten Pacu Jalur ini hanya muncul di FYP atau homepage media sosial masyarakat Indonesia, tetapi karena terus diramaikan sampailah konten-konten tersebut memasuki arus algoritma pengguna media sosial di luar negeri. Dengan semakin dikenalnya budaya Pacu Jalur, dalam dunia media maya Pacu Jalur disebut sebagai "Aura Farming", sebutan itu dapat diartikan atau digunakan ketika ada seseorang yang menebarkan semacam pesona yang kuat, pesona yang ditunjukkan disebut sebagai "Aura" kemudian kata "Farming" merujuk pada jumlah yang banyak sehingga "Aura Farming" dapat didefinisikan sebagai seseorang yang menunjukkan pesona secara besar-besaran. Kenapa budaya Pacu Jalur dapat menarik pengguna media sosial secara global sampai memiliki sebutan "Aura Farming"? Sebutan tersebut merujuk pada anak kecil yang berdiri diujung perahu sambil melakukan gerakan-gerakan menakjubkan saat perlombaan berlangsung, gerakan-gerakan yang dilakukan anak-anak sangat memukau karena mereka dapat menyeimbangkan diri mereka sambil melakukan berbagai macam gerakan tersebut. Tidak hanya dikenal dan memiliki sebutan, pengguna media sosial dari Indonesia maupun luar negeri ikut mengunggah video mereka sendiri memparodikan atau mengikuti gerakan yang dilakukan anak-anak yang berdiri di ujung perahu tersebut. Layaknya virus, video yang mengikuti gaya anak-anak yang ada di dalam video pacu jalur banyak diikuti oleh banyak pengguna media sosial.
Fenomena Dalam sosiologi fenomena ini dapat dilihat dari 3 teori, yaitu :
1. Teori Modal Simbolik -- Pierre Bourdieu
Pierre Bourdieu dalam teorinya tentang modal sosial membagi modal menjadi empat jenis: modal ekonomi, modal sosial, modal budaya, dan modal simbolik. Modal simbolik adalah jenis modal yang berbentuk pengakuan, kehormatan, atau status sosial yang diberikan oleh lingkungan sosial kepada seseorang. Nilai modal simbolik tidak bersifat absolut, melainkan relatif terhadap konteks sosial di mana seseorang berada.
Dalam konteks media sosial, aura farming dapat dilihat sebagai strategi untuk mengumpulkan modal simbolik digital. Individu yang berhasil menampilkan citra diri yang menarik, unik, lucu, atau eksentrik di media sosial, serta mampu mengundang banyak likes, views, dan komentar positif, akan memperoleh pengakuan sosial dari komunitas digitalnya. Pengakuan ini pada akhirnya meningkatkan posisi sosial simbolik individu tersebut di ruang maya.
Sebagai contoh, seorang kreator konten yang konsisten membuat video TikTok dengan gaya humor absurd yang viral, lambat laun akan memiliki banyak pengikut dan penggemar. Popularitas ini bukan sekadar soal angka statistik, tetapi juga berfungsi sebagai modal simbolik yang memberinya status sosial di komunitas digital tersebut. Seiring meningkatnya modal simbolik, individu tersebut memiliki pengaruh yang lebih besar, tidak hanya di dunia maya, tetapi juga dalam relasi sosial di dunia nyata.
2. Teori Budaya Populer dan Konsumsi Budaya -- John Storey
John Storey dalam bukunya Cultural Theory and Popular Culture menjelaskan bahwa budaya populer adalah budaya yang lahir, berkembang, dan dikonsumsi secara massal oleh masyarakat luas. Budaya populer bersifat dinamis, cepat berubah, dan sering kali dipengaruhi oleh tren-tren yang berkembang di kalangan masyarakat. Salah satu ciri dari budaya populer adalah adanya praktik konsumsi budaya, di mana individu atau kelompok masyarakat mengonsumsi, meniru, atau mereproduksi berbagai produk budaya yang sedang tren.
Fenomena aura farming di media sosial merupakan bagian dari budaya populer digital. Anak muda secara aktif memproduksi dan mengonsumsi berbagai konten viral sebagai bagian dari gaya hidup digital mereka. Melalui video, foto, dan unggahan di media sosial, mereka tidak hanya menampilkan citra diri, tetapi juga mengkonstruksi identitas sosial mereka di ruang publik digital.
Selain itu, budaya populer digital memungkinkan siapa saja untuk menjadi kreator budaya. Fenomena ini menunjukkan adanya pergeseran struktur produksi budaya, dari yang sebelumnya didominasi oleh media arus utama, menjadi lebih terbuka dan partisipatif di era digital. Dalam konteks ini, aura farming menjadi salah satu bentuk praktik konsumsi budaya di mana individu tidak hanya menjadi konsumen, tetapi juga produsen budaya populer.
3. Teori Dramaturgi -- Erving Goffman
Erving Goffman dalam bukunya The Presentation of Self in Everyday Life memperkenalkan konsep dramaturgi, yang memandang kehidupan sosial seperti sebuah pertunjukan teater. Setiap individu bertindak layaknya seorang aktor yang memainkan peran tertentu di atas panggung sosial. Menurut Goffman, terdapat dua ruang dalam kehidupan sosial: front stage (panggung depan) dan back stage (panggung belakang). Di panggung depan, individu menampilkan citra diri yang diinginkan agar diterima oleh audiens sosialnya, sementara di panggung belakang, individu bebas mengekspresikan diri tanpa tekanan peran sosial.
Dalam konteks media sosial, aura farming dapat dipahami sebagai praktik front stage performance. Seseorang yang melakukan aura farming dengan sengaja membentuk tampilan diri tertentu di hadapan publik digital. Ia memilih pakaian, gaya bicara, ekspresi, dan konten yang sesuai dengan tren serta harapan audiens media sosialnya. Tujuannya adalah untuk membangun citra diri yang menarik dan memperoleh validasi sosial dari "penonton" digital.
Fenomena ini menunjukkan bagaimana media sosial menjadi ruang panggung depan baru, di mana identitas sosial tidak hanya dibentuk melalui interaksi langsung, tetapi juga melalui performa digital. Identitas tersebut terus dirawat dan disesuaikan dengan ekspektasi audiens demi mempertahankan eksistensi sosial di ruang maya.
Fenomena Pacu Jalur, lomba perahu tradisional khas masyarakat Kuantan Singingi, Riau, bukan hanya sekadar ajang olahraga atau ritual budaya, tetapi juga mencerminkan dinamika sosial masyarakat yang terus berkembang. Di era digital, tradisi ini mengalami pergeseran makna ketika mulai viral di media sosial dan menarik perhatian publik nasional bahkan internasional.
Dari sudut pandang sosiologi, fenomena Pacu Jalur dapat dikaji sebagai bentuk manifestasi identitas kolektif, interaksi sosial, hingga strategi mempertahankan warisan budaya di tengah arus globalisasi. Selain itu, viralnya Pacu Jalur di media sosial juga merefleksikan bagaimana budaya lokal bertransformasi menjadi bagian dari budaya populer digital, serta menunjukkan relasi kuasa antar komunitas dalam menentukan nilai-nilai budaya mana yang dianggap layak ditampilkan ke publik.
Melalui perspektif sosiologi, tradisi ini tidak hanya dipahami sebagai peristiwa adat semata, tetapi juga sebagai fenomena sosial yang memperlihatkan pola interaksi, solidaritas komunitas, serta proses reproduksi budaya dalam masyarakat modern.
Fenomena viralnya Pacu Jalur di media sosial menjadi salah satu contoh bagaimana tradisi lokal mampu menembus ruang digital dan menarik perhatian publik, khususnya generasi muda. Dari sudut pandang kependidikan, fenomena ini menyimpan nilai-nilai penting yang perlu digali dan dimanfaatkan sebagai media pendidikan karakter dan budaya.
Pacu Jalur bukan sekadar ajang perlombaan tradisional, melainkan simbol kebersamaan, sportivitas, solidaritas sosial, dan identitas daerah. Saat budaya ini mulai populer di media sosial, muncul peluang bagi dunia pendidikan untuk memanfaatkan fenomena tersebut sebagai sarana pembelajaran nilai-nilai budaya kepada peserta didik. Pendidikan tidak hanya berlangsung di ruang kelas, tetapi juga dapat berjalan secara informal melalui media digital, di mana generasi muda saat ini banyak menghabiskan waktu.
Refleksi ini juga menunjukkan pentingnya pendidikan multikultural yang mengenalkan keberagaman budaya daerah kepada siswa. Fenomena Pacu Jalur dapat menjadi contoh konkret bagi peserta didik tentang kekayaan budaya Indonesia, sekaligus membangun kesadaran akan pentingnya pelestarian budaya di era globalisasi.
Namun, di sisi lain, maraknya konten budaya lokal di media sosial juga menimbulkan tantangan berupa komodifikasi budaya, di mana budaya hanya dijadikan tontonan tanpa memahami nilai filosofis di baliknya. Oleh karena itu, pendidikan perlu hadir memberikan pemahaman kritis agar peserta didik tidak hanya menikmati budaya secara dangkal, tetapi juga mampu menghargai, memahami makna, dan menjaga nilai-nilai luhur budaya bangsa. Dengan demikian, pendidikan berbasis budaya lokal yang adaptif terhadap perkembangan digital menjadi kunci penting dalam membangun karakter generasi muda Indonesia.
Fenomena Pacu Jalur yang kembali mencuat ke permukaan melalui media sosial menjadi gambaran nyata bahwa budaya lokal tidak pernah benar-benar mati. Tradisi yang telah berlangsung selama ratusan tahun ini bukan hanya sekadar ritual perlombaan perahu, melainkan sebuah bentuk ekspresi sosial, identitas kolektif, dan simbol solidaritas masyarakat Kuantan Singingi yang diwariskan lintas generasi. Ketika Pacu Jalur viral di ruang digital, tradisi ini memasuki babak baru dalam perjalanannya. Budaya yang dulunya hanya disaksikan di tepian Sungai Kuantan kini dapat dinikmati oleh masyarakat luas, bahkan hingga ke tingkat global. Hal ini membuktikan bahwa budaya lokal mampu bertahan, beradaptasi, dan berkembang di tengah arus modernisasi serta globalisasi yang serba cepat.
Dari perspektif sosiologi, fenomena ini menunjukkan bahwa budaya tidak bersifat statis. Ia terus mengalami transformasi makna, reproduksi nilai, serta negosiasi antara lokalitas dan globalitas. Media sosial telah menjadi salah satu medium baru bagi masyarakat untuk membangun dan mempertahankan identitas budaya, sekaligus sebagai sarana memperluas eksistensi budaya daerah ke ranah yang lebih luas. Meski demikian, viralitas budaya lokal di ruang digital juga menyisakan tantangan. Potensi komodifikasi budaya selalu mengintai ketika tradisi dimanfaatkan hanya sebagai tontonan tanpa memahami makna filosofis dan nilai historis yang melekat di dalamnya. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat, komunitas adat, dan para pelaku budaya untuk terus menjaga esensi nilai-nilai luhur dalam setiap ekspresi tradisi yang diangkat ke ruang publik, agar warisan budaya tersebut tetap bermakna dan tidak sekadar menjadi bagian dari tren sesaat.
Dengan demikian, fenomena Pacu Jalur di era digital menjadi contoh konkret bahwa budaya lokal memiliki kemampuan untuk tetap hidup dan berdaya saing di tengah perkembangan zaman, selama nilai-nilai utamanya tetap dijaga dan dihargai oleh masyarakatnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI