Lihat ke Halaman Asli

SNF FEBUI

Badan Semi Otonom di FEB UI

Pendidikan Kebencanaan: Hidup Berdampingan dengan Bencana Alam

Diperbarui: 9 Mei 2021   16:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrated by: Aisha Adeelia

Akhir-akhir ini, Indonesia sering mengalami bencana alam.Setidaknya berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sepanjang tahun 2021 hingga bulan April tercatat 1.125 bencana alam yang melanda Indonesia dan mengakibatkan korban jiwa serta kerusakan bangungan. Hal ini terjadi karena sejatinya  Indonesia merupakan daerah rawan bencana karena berada di pertemuan lempeng tektonik yaitu Eurasia, Indo Australia, Filipina, dan Pasifik. Selain itu, Indonesia merupakan pertemuan 2 rangkaian gunung berapi aktif dunia dan memiliki wilayah lautan yang luas sehingga sangat berpotensi mengalami bencana, baik bencana geologis maupun bencana hidrologis. Berdasarkan pengindeksan bencana oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), tsunami menjadi bencana dengan risiko tertinggi di Indonesia dengan nilai 9,7 poin disusul gempa bumi dengan 8,9 poin dan banjir 8,1 poin. Terlebih berdasarkan Peta Indeks Risiko Bencana yang dikeluarkan oleh BNPB, mayoritas wilayah Indonesia berada di zona dengan risiko tinggi.[1

Sumber : Indeks Risiko Bencana Alam Indonesia (2020) statista 2019 diakses dari databoks katadata

Membangun kesadaran tentang kebencanaan menjadi hal yang penting bagi negara dengan risiko tinggi terkena bencana seperti Indonesia. Salah satunya dapat dilakukan melalui pendidikan kebencanaan. Pendidikan kebencanaan diharapkan dapat meminimalisir dampak bencana yang terjadi karena dapat menjadi cara yang efektif untuk membangun kesadaran tentang potensi bencana alam. Pengetahuan akan bahaya bencana alam harus selalu diperbarui dan diasah dalam menghadapi dunia yang semakin hari semakin tua. Esensi pendidikan kebencanaan agar membuat manusia dapat menyesuaikan diri dengan keadaan sehingga dapat hidup berdampingan dengan bencana alam yang sewaktu-waktu dapat terjadi. 

Pendidikan bencana merupakan bidang baru dalam pendidikan dimana ada  beberapa teks yang berhubungan langsung dengan pendidikan publik untuk keadaan gawat darurat (Shaw dkk, 2011 dalam preston). Namun, ruang pedagogi dalam mempersiapkan masyarakat menghadapi bencana sangat luas dan mencangkup tidak hanya melalui institusi pendidikan dan kampanye informasi publik tetapi juga melalui keluarga dan pembelajaran komunitas, pendidikan orang dewasa, dan melalui budaya populer.[2]

Pendidikan Kebencanaan di Luar Negeri

Kurikulum pengurangan risiko kebencanaan di berbagai negara seperti Bangladesh, Kamboja, dan Pakistan dikembangkan dengan memasukkan muatan pendidikan kebencanaan kedalam kurikulum pengurangan risiko kebencanaan. Akan tetapi dalam pelaksanaannya terjadi berbagai kendala seperti kurangnya akses pendidikan dimana banyak siswa yang tidak mendapat pendidikan kebencanaan karena terputus sebelum memperoleh kelas yang mengajarkan pendidikan kebencanaan serta lemahnya pengimplementasian kurikulum yang dialami seperti kurangnya kemampuan guru dan metode yang digunakan kurang efektif. Negara Jepang dapat dikatakan sebagai negara yang pendidikan kebencanaannya terbaik di dunia. Pendidikan kebencanaan Jepang mampu menjadikan masyarakatnya  memiliki budaya kesiapsiagaan sehari-hari (seikatsu bosai) setelah sebelumnya Jepang memiliki pendekatan “saling  membantu (kyojo)” dan “hidup bersama (kyozon)”. [3]

Pendidikan kebencanaan di Indonesia

Dalam studi yang dilakukan oleh Selby dan Kagawa (2014:25), pendidikan kebencanaan di Indonesia memiliki berbagai kendala terutama dalam hal implementasi, meskipun sudah memiliki strategi dan pedoman pendidikan kebencanaan. Pada daerah-daerah tertentu yang memiliki tingkat risiko bencana tinggi, inisiatif pemerintah dan Non-Government Organization (NGO) dalam melakukan sosialisasi dan pengimplementasian pendidikan kebencanaan sudah cukup baik. Namun, hal tersebut mengalami kendala konsistensi dan sifatnya masih insidental setelah adanya bencana, padahal pendidikan kebencanaan harus terus dilakukan meskipun tidak ada kejadian bencana. Selain melalui inisiatif yang dilakukan oleh badan-badan pemerintah seperti Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Basarnas, dan sebagainya, pendidikan kebencanaan juga telah diajarkan oleh masyarakat komunitas etnik melalui kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia. Pendidikan kebencanaan yang dilakukan oleh masyarakat etnik banyak diwariskan melalui cerita lokal  seperti "Smong" di Aceh yang berisi pesan-pesan untuk mengevakuasi diri saat terjadi peristiwa bencana. Selain itu, kearifan lokal masyarakat Indonesia mengajarkan pentingnya membangun rumah yang tahan bencana melalui rumah adat yang didesain agar tahan bencana sehingga dapat meminimalkan korban jika bencana terjadi.[4]

Memasukkan Pendidikan ke Kurikulum

Dalam pidatonya pada tahun 2019, Presiden Joko Widodo berkeinginan agar pendidikan kebencanaan masuk kedalam kurikulum pendidikan. Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan yang saat itu masih menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tetap akan merealisasikan keinginan presiden agar pendidikan kebencanaan masuk kedalam kurikulum sekolah. Lebih lanjut, pemerintah telah menyiapkan modul-modul yang berisi Program Penguatan Pendidikan Karakter yang berisi keterampilan dasar hidup dan kecakapan khusus dalam melaksanakan maupun menghindari risiko bencana. Modul ini akan diajarkan melalui kegiatan ekstrakurikuler. Pendidikan kebencanaan juga diselipkan kedalam  permainan yang dapat melatih anak mengenai mitigasi kebencanaan. Pendidikan kebencanaan telah diajarkan pada tingkat pendidikan anak usia dini dalam pengayaan kurikulum sebagai upaya preventif bagi kehidupan anak kelak. [5]

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (KNJPPI) berpendapat bahwa upaya pemerintah memasukan kurikulum pendidikan bencana kedalam kurikulum akan memberatkan siswa dan menyarankan pendidikan kebencanaan diintegrasikan dengan mata pelajaran lain alih-alih dijadikan sebagai mata pembelajaran tersendiri serta menyarankan pemerintah agar membuat rencana strategi nasional mengenai mitigasi bencana. [6]

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline