Lihat ke Halaman Asli

Pilkada Tangsel: Pertarungan antar Jawara

Diperbarui: 26 Juni 2015   11:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pengantar: Saya sebenarnya enggan nimbrung ngobrol soal Pilkada Tangsel, selain saya tidak bisa memilih karena kebetulan harus ke luar negeri pada saat coblosan juga mungkin karena saya terlalu tahu jerohan mereka-mereka yang sedang bertarung. Beberapa di antaranya pernah pula menjadi kolega.Tetapi serbuan email dan BBM semasa transit pesawat membuat saya merenungkan kembali percakapan saya dengan adik ipar seminggu sebelumnya. “Orang seperti Mas mestinya nulis di koran, biar orang bisa jernih melihat persoalan. Jangan lepas dari mulut buaya masuk ke mulut harimau,” ketika itu dia berkata. Saat itu saya hanya menjawab sambil lalu: “Apalah artinya saya, koran kan hanya memuat orang terkenal.” Malam usai coblosan hari Sabtu itu ia kembali menghujani blackberry saya. Akhirnya saya putuskan untuk mencharge penuh laptop dan mengetik rangkaian tulisan ini sepanjang di pesawat, yang akan saya posting begitu saya dapat koneksi Internet nanti. Entah berapa seri nanti jadinya, seingat dan sesempat saya saja.

---

Pilkada Tangsel 2010 praktis hanya pertarungan dua pasangan kandidat: Airin – Benjamin Davnie vs Arsjid – Andre Taulany (atau dikenal dengan nama Andre Stinky atau Andre OVJ). Banyak orang, termasuk what so called kalangan kampus, aktivis dan LSM yang konon well educated dan well informed mengatakan ini adalah pertarungan melawan politik dinasti. Usai coblosan dimana hasil quick count mengatakan Airin menang tipis, atau Arsjid yang menang tipis (yang sama-sama tidak valid karena berada dalam margin of error), tak kurang pengamat (yang juga konsultan politik) seperti Eep Saefulloh mengatakan bahwa Airin miskin dukungan pemilih karena faktor kesebalan atas politik dinasti yang sudah memuncak di Tangsel. Entah karena mereka kurang informasi, atau memang sengaja dibuat kurang informasi.

Sejarah selalu mengatakan bahwa yang ada hanya pertarungan antar antar orang kuat. Sesungguhnya tak terkecuali di Tangsel ini. Sepintas seolah memang seperti pertarungan antara mantan camat (Arsjid adalah mantan camat Pamulang dan Serpong) melawan titipan Gubernur (Airin adalah adik ipar Atut, Gubernur Banten). Tetapi sesungguhnya ini adalah pertarungan antar jawara, pertarungan antar preman.

Kelompok Jawara pertama jelas ada di belakang Airin. Airin adalah representasi dinasti Chasan Sochib (ayah Atut) yang disebut-sebut sebagai God Father di Banten. Kelompok ini dikenal dengan nama Kelompok Rawu/Ciomas, yang dituding banyak orang mengangkangi proyek di Banten, dan menyebabkan Banten tidak berkembang. Tidak ada kelompok lain yang benar-benar kuat di Banten, walau sesungguhnya di setiap wilayah sejatinya ada pemain kuatnya. Tetapi mereka selama ini tidak pernah kompak, sebagaimana terbukti waktu Pilgub Banten yang dimenangkan Atut.

Lalu siapa Arsjid? Arsjid sesungguhnya sudah sejak lama diplot sebagai calon yang akan diorbitkan oleh berbagai kelompok jawara lain di Banten. Terutama setelah mereka melihat bahwa Airin akan dimajukan lagi. Airin pernah maju menjadi calon wakil bupati Tangerang Selatan. Ketika itu kelompok lawan Rawu pun berkoalisi mendukung Ismet Iskandar yang incumbent. Kelompok Rawu habis-habisan digunting di bawah ketika itu. Mereka memang tidak seberapa kuat di wilayah yang lebih modern seperti Tangerang (kota dan kabupaten) maupun Tangerang Selatan. Di Kota Tangerang misalnya, Wahidin yang memenangkan pemilihan walikota.

Arsjid dipilih karena dia muda (sehingga cocok menantang Airin) dan karena dia bukan siapa-siapa (sehingga bisa jadi boneka, makanya juga dipilihkan pasangan artis untuk mendongkrak popularitas dan untuk lucu-lucuan, yang terbukti efektif ketika dipertemukan dengann kesebalan terhadap kelompok Rawu). Lebih-lebih karena dia Betawi, sehingga sentimen kesukuan bisa dimainkan di sini. Terbukti Arsjid menang di kantong-kantong Betawi, dan sebaliknya di kantong pendatang maupun di Tangsel pinggiran yang didominasi etnis Sunda-Banten.

Lalu siapa yang membackup Arsjid? Dengan modal kekayaan Airin (saja, tidak termasuk suami dan keluarga) yang mencapai 100 milyar lebih, jelas perlu modal besar. Demikian pula dalam menghadapi birokrasi Tangsel yang diduga akan ditekan habis oleh gubernuran. Di sini lah kemudian muncul nama lama, Ismet Iskandar. Ismet mengerahkan segenap jaringannya (Kota Tangsel adalah pemekaran Kabupaten Tangerang) untuk memblokade intervensi birokrasi. Intervensi dihadapi dengan intervensi tentunya.

Ketika menyangkut soal uang, muncul nama Suryo Guritno, seorang pedagang senjata yang bermukim di Pamulang. Pedagang senjata? Ya, Suryo adalah makelar besar aliran senjata dari Rusia ke Indonesia. Dia lah yang memasok berbagai persenjataan buatan Rusia ke TNI. Konon dia pula yang memasok aliran senjata ke Philipina, Pakistan dan Afghanistan, dan bahkan ke Aceh. Biasanya diputar via Malaysia, makanya para petinggi tentara di negeri jiran itu juga sebal dengan dia. Melalui Suryo lah aliran modal kampanye Arsjid mengalir.

Kenapa Suryo bisa terlibat? Tidak dipungkiri lagi bahwa salah satu lawan terbesar kelompok Rawu memang berasal dari kalangan militer. Ketika Taufik Nuriman (seorang perwira Kopassus) menjadi Wakil Bupati Serang, ia mendirikan Majelis Musyawarah Masyarakat Banten (M3B) dan dalam berbagai kesempatan secara terang-terangan menuding Kelompok Rawu sebagai penyebab tersendat-sendatnya pembangunan di Banten. Kalangan militer menilai dominasi kelompok ini dinilai terlampau kuat hingga menyusup ke pemerintahan. Bahkan pada pertengahan tahun 2002 ada pertemuan di Selaksanegara, Kabupaten Pandeglang yang dihadiri sejumlah tokoh penggagas Provinsi Banten yang melahirkan permintaan agar Djoko Munandar dan Atut Chosiyah mengundurkan diri sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Banten ketika itu. Tapi koalisi mereka dulu sangat rapuh, sehingga gagal bertarung melawan kelompok Rawu ketika pemilihan gubernur. Kenapa rapuh, karena pada dasarnya para jawara sangat susah dipersatukan ketika sudah menyangkut siapa yang memimpin dan siapa yang di depan. Makelar senjata yang akrab dipanggil Yoyok ini lah yang menchannel aliran uang dari celengan para tentara itu.

Jadi Pilkada Tangsel sesungguhnya tak lebih dan tak kurang adalah pertarungan para mafioso. Antara kelompok Rawu/Ciomas melawan koalisi para jawara lainnya. Ingat, kesebalan para jawara itu berangkat dari “tidak meratanya pembagian kue proyek” di Banten. Pilkada Tangsel (dan Pikada Kabupaten maupun Kota Tangerang sebelumnya), adalah rangkaian pertarungan menumbangkan “dominasi proyek” Kelompok Rawu itu. Peta akhir yang dituju lawan Rawu adalah “pemerataan proyek”, dimana para Don setempat akan memegang peran dominan di daerah masing-masing. Mirip skema mafioso Itali di Amerika.

Lalu apa dampaknya buat rakyat Tangsel? Dalam jangka panjang sebenarnya sama saja. Lihat saja Kabupaten Tangerang di bawah Ismet Iskandar, cuma jadi lahan bagi-bagi para developer. Tidak ada perkembangan yang berarti dalam kualitas hidup masyarakatnya. Malah mungkin dalam jangka pendek kalau Airin menang akan lebih menguntungkan buat masyarakat Tangsel. Lho kok? Karena konon Tangsel akan dijadikan sebagai etalase keberhasilan kelompok Rawu. Mereka akan habis-habisan mengamankan kinerja Airin untuk persiapan kampanye Atut pada Pilkada Banten 2011. Kelompok Non-Rawu kemungkinan besar akan mendukung Wahidin (Walikota Tangerang) sebagai jagoannya melawan Atut nanti. Lihat saja bagaimana Kota Tangerang dipermak di masa Wahidin. Kenapa Arsjid sulit melakukan itu di waktu dekat? Karena dana perimbangan Tangsel yang relatif rendah dan ditentukan oleh pemerintah provinsi. Kalau Arsjid menang, hampir pasti anggarannya akan dicekik dari gubernuran, seperti kasus periode pertama Nurmahmudi Ismail di Depok, yang dihambat oleh Gubernur Jabar ketika itu, Danny Anwar (yang besan Badrul Kamal, lawan Nurmahmudi). Nurmahmudi praktis baru bisa bernafas ketika sesama politisi PKS, Ahmad Heryawan, berhasil menjadi Gubernur Jabar. Sekali lagi, Pilkada adalah pertarungan antar jawara, pertarungan antar preman. Tak lebih dan tak kurang. Jadi kasihan para intelektual (katanya) itu yang justru menjadi pion para preman.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline