Lihat ke Halaman Asli

Djamester A. Simarmata

Saya adalah seorang akademisi, penulis. Senang membaca, dengar musik klasik maupun pop, senang berdiskusi. Latar belakang teknik tetapi beralih menjadi ekonom.

Perselisihan Pilpres untuk Rakyat atau Elit?

Diperbarui: 18 Juni 2015   03:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

MASALAH PEMILU PILPRES, JANGAN SEMPIT

Pilpres 2014 melahirkan berbagai perdebatan publik di mana sekelompok kecil orang yang disebut ahli HUKUM TATA NEGARA mengeluarkan pendapat, dan hampir semua berdebat dalam konteks konstitusionalisme. Banyak yang mengangkat isu bahwa masalah konstitusi bukanlah tentang jumlah pemilih tetapi proses dan bagaimana kaitannya dengan konstitusi. Tetapi terlihat adanya sekelompok ahli yang terjerumus pada “egoisme disiplin sempit”, yang disebut hukum tata negara. Mereka abai pada adanya pemikiran lain tentang konstitusi, misalnya dari sudut ekonomi, yang disebut sebagai “Konstitusionalisme ekonomi ”. Satu kajian mendalam di dunia tentang peran ilmu ekonomi dalam konstitusi tertulis dalam “CALCULUS OF CONSENT”, karya besar Buchanan dan Tullock, yang mendapat penghargaan hadiah Nobel dalam ilmu ekonomi. Masalah konstitusi, masalah negara, bukanlah hak monopoli para ahli hukum!

Dalam konteks pemikiran itu, kehidupan demokrasi, yang berarti terkait dengan pengambilan keputusan kolektif, terdiri dari tiga tingkatan: 1) Pengambilan Keputusan Konstitusional; 2) Pengambilan Keputusan Legislatif; 3) Pengambilan Keputusan Elektoral.

1)Dalam pengambilan keputusan konstitusional, modus pengambilan keputusan yang dianggap paling tepat ialah yang disebut memenuhi kriteria PARETO dari sudut ilmu ekonomi, di mana tidak boleh terjadi adanya perbaikan situasi satu orang berdasarkan keputusan kolektif  tetapi menyebabkan kerugian terhadap orang lain. Dalam bahasa Indonesia situasi ini disebut sebagai musyawarah mufakat, ataupun unanimous decision. Ini hanya berlaku pada pemgambilan keputusan penentuan konstitusi, yang sangat jarang kejadiannya. Sebagai contoh, penghilangan tujuh kata dalam Piagam Jakarta, adalah pengambilan keputusan konstitusional bernilai tinggi dan mulia, yang menjamin keberadaan negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

2)Pengambilan Keputusan Legislatif: Tingkatannya berada di bawah pengambilan keputusan konstitusional, dan dalam tingkatan ini, maka jenis mayoritas yang dianggap perlu tidak sama dengan syarat penentuan konstitusional, sehingga ada yang disebut sebagai k-majority, di mana besar suara penentu dalam DPR misalnya dapat dua-pertiga, tiga-perempat, ataupun setengah ditambah satu. Modus pengambilan keputusan ini diarahkan untuk mempermudah pelaksanaan kehidupan demokrasi, sebab pada setiap pengambilan keputusan selalu diperlukan biaya, yang tidak hanya terbatas pada biaya finansil, tetapi juga mencakup biaya-biaya sosial, psikologis, dan biaya-biaya lain.

3)Pengambilan keputusan elektoral, adalah proses penentuan penentuan siapa yang menduduki jabatan publik, yang harus ditentukan oleh rakyat banyak. Dalam konteks ini, maka jumlah suara pendukung satu calon dapat ditentukan dalam berbagai cara. Bila pemilihan itu hanya untuk satu orang sedangkan kelompok pengusul terdiri dari banyak partai, maka dapat ditentukan oleh suara terbanyak tetapi dengan jumlah pemilih minimal. Sebab ini adalah terkait dengan jumlah orang, dan setiap orang dianggap sama nilainya dan dianggap masing-masing mampu menentukan pilihan, maka penentuan pemenang memang ditentukan oleh jumlah suara pemilih terbanyak. Hal vital tentunya bila terjadi penimpangan yang betul-betul telah terlihat curang, memaksa, iming-iming uang yang merusak, dan sebagainya. Dalam sejarah Yunani misalnya, penentuan pejabat itu dapat melalui sistem voting, tetapi dapat juga berdasar kemampuan professional, dan juga ada sistem LOTRE. Dalam situasi masyarakat Yunani ketika itu, sistem lotre dianggap bahwa orang yang terpilih adalah pilihan dewa. Pilpres yang menyangkut ratusan juga pemilih, sungguh tidak logis bila masalah perorangan dijadikan argumen konstitusional. Ada argumen bahwa pelaksanaan kehidupan demokrasi adalah untuk mempermudah kehidupan semua warga negara yang tidak melanggar HAM. Apa yang terjadi setelah Pilpres tidak ada yang secara pasti mampu mengatakannya, kecuali situasi yang terlihat kini.

Lalu bagaimana dengan masalah Pilpres Indonesia 2014? Dari hasil simakan saya terhadap argumen para ahli hukum tata-negara, saya kira para ahli kita kurang mempunyai studi literatur demokrasi di dunia. Padahal kita telah mengadopsi Hak Azasi Manusia, yang juga mempunyai nilai universal. Demikian juga prinsip demokrasi adalah juga bersifat universal, dan dalam konteks itu, pengambilan keputusan tentang hidup negara melalui pemerintahan terdiri dari tiga tingkatan tadi. Ini yang tidak terlihat dalam diskusi pada AHLI TATA NEGARA kita, yang saya anggap bersifat memiskinkan pengetahuan masyarakat luas. Pada tingkatan pengambilan keputusan EKEKTORAL, maka dengan anggapan tadi bahwa semua orang bernilai sama, dan setiap orang mampu menentukan yang terbaik bagi dirinya, maka penggunaan kriteria kuantiatif telah cukup dalam dirinya, dan masalah kualitatif adalah berada dalam diri masing-masing orang. Argumen-argumen fiktif tidaklah pada tempatnya. Pernyataan bahwa MK sebagai lembaga kalkulator, saya kira sangat tidak tepat, dan dari sudut pandang konstitusionalisme berarti mengabaikan adanya tiga tingkatan pengambilan keputusan kehidupan demokrasi tadi. Di sini lebih tepat kriteria PENGAMBILAN KEPUTUSAN ELEKTORAL, yang memang lebih mendahulukan jumlah pemilih. Sangat sulit bila setiap Pilpres, para ahli selalu menyoal masalah konstitusi yang terlalu abstrak, dan memperlambat dan mempersulit kehidupan masyarakat. MARI BERSIFAT BIJAKSANA & RASIONAL.

Sungguh sayang, para ahli hukum tata-negara kita kelihatannya kurang mempunyai literatur luas sampai mencakup bidang lain, yang sangat penting bagi kehidupan bernegara. Bukankah tidak ada artinya ikut Pilpres bila kehidupan orang sangat miskin, sehingga harus makan nasi aking? Anak tidak dapat sekolah? Sedang pemimpinnya mampu naik helikopter kemana-mana? Sebagian dari para pemimpinnya adalah koruptor? Ini adalah salah satu aspek ekonomi konstitusi.

Sampai di sini dulu. Semoga Para Ahli makin bijak dan makin membaca literatur lebih luas, tetnunya juga harus bermoral dan beretika tinggi. MERDEKA!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline