Lihat ke Halaman Asli

Silva Ahmad F

Penulis Pemula

Cerpen | Perjuangan Bulir Padi

Diperbarui: 30 April 2019   19:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: kabartani.com

Kami adalah seikat padi dari hasil olah alam yang sama, hingga suatu saat petani memanen kami. Dan kami pun berubah nama, gabah. Setelah dipanen, kami harus mengalami penggabahan dengan cara diinjak-injak dan dipukulkan, rasanya sakit. Dan tak semuanya bertahan. Ada dari kami yang terpental hingga tak tau lagi dimana ia berada. Mungkin inilah yang dimaksud seleksi alam.

Setelah penggabahan, kami masih harus mengalami penggilingan untuk memisahkan sekam dalam tubuh kami. Penggilingan? Terdengar mengerikan bagi kami. Namun memang itu yang harus kami jalani agar menjadi beras yang layak dikonsumsi.

Cukupkah perjalanan kami? Tidak. Setelah menjadi beras yang dijual di pasaran, kami harus menunggu pelanggan calon pembeli kami. Hingga suatu saat seorang lelaki datang membeli kami dengan meminta jumlah yang diharapkan. Ada beberapa dari kami yang tak masuk timbangan, bahkan terjatuh di jalanan kumuh, becek, dan berbau. Entah, bagaimana nasibnya di jalanan pasar kini.

Kami yang terpilih sebagai barang belanjaan tak pantas berbangga diri, nampaknya masih ada serangkaian proses yang masih harus kami lewati, berharap suatu saat kami takkan tersisih.

Setelah kami dibawa kerumah oleh sang empunya, kami langsung ditanak dalam sebuah penanak nasi besar. Ya, jumlah kami memang lumayan banyak. Panas, kami merasa aliran panas menjalari tubuh kami. Setelah cukup lama kami mengerang kesakitan, nampaknya berakhir pula pematangan yang kami terima sehingga ia mengangkat kami dari wadah penanak nasi. Namun, oh malang, ada beberapa dari kami yang tak kuat dan menjadi sedikit hangus. Ada pula yang terlalu kering, sehingga ia memberikannya pada ayam peliharaannya.

Setelah diangkat, ternyata masih ada teman-teman kami yang lagi-lagi tersisih, jatuh di tanah kotor dan pada akhirnya terinjak. Naas, nampaknya mereka mengakhiri penderitaan mereka dengan cara yang tak wajar.

Beberapa saat setelah kami terangkat, kami disajikan bersama beberapa lauk sederhana semisal tempe, tahu, dan masakan sederhana lain. Lelaki tersebut masuk sejenak kedalam ruangan, ia memanggil anggota keluarga lain untuk berkumpul. Sejenak, kami melihat belasan anak yang terlihat kelaparan di depan kami. Nampaknya mereka adalah anak-anak panti.

Lelaki tadi mengumpulkan anak-anak tersebut, kemudian mengajak mereka berdoa. Kami pun tak melewatkan kesempatan tersebut. Dalam diam, kami turut berdoa, "Tuhan, semoga Engkau berikan jalan bagi mereka yang tersisih dan tersesat dalam perjalanan. Dan kini, setelah kami melalui proses panjang nan melelahkan, kami bersyukur bisa masuk kedalam perut mereka yang membutuhkan, semoga perjuangan kami tak pernah Kau sia-siakan, Amin."

Dan kau tau? Kami melihat sendiri anak-anak tersebut makan dengan lahapnya. Terselip perasaan haru dan bangga, bahwa perjuangan kami menjadi nasi mampu mengganjal perut anak-anak yang telah kehilangan kasih sayang keluarganya. Kami akan menjadi tenaga bagi mereka untuk berani menghadapi kenyataan.

Dari perjalanan panjang nan melelahkan ini, kami tau, ada harga yang harus dibayar untuk melunasi sebuah kebahagiaan. Wallahu a'lam




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline