Lihat ke Halaman Asli

Memorable

Diperbarui: 14 Agustus 2023   13:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Semuanya sudah siap, Bu. Kita akan segera berangkat," ucap seorang wanita yang mengenakan kaca mata tersebut.

"Iya, terima kasih, Mega," balasan dari seorang wanita yang sedang berkaca di depan cermin panjang sembari merapihkan baju yang dikenakannya.

Pagi ini adalah pagi yang sangat spesial bagi Puspa Anindita atau yang lebih terkenal dengan P. Nindi. Dia yang sudah berkarir selama 17 tahun menjadi penulis dan motivator kini mengeluarkan karya terbarunya yang berjudul 'Memorable'. Dalam karya tersebut tertulis bagaimana awal dirinya menitih karir hingga sukses seperti sekarang. Kenangan akan masa-masa yang sangat mudah diingat itu membuat buku yang dia terbitkan lebih istimewa dari biasanya.

Puspa pun lalu melangkahkan kakinya menuju pintu keluar. Dia berangkat ke salah satu tempat dimana perayaan untuk peluncuran buku barunya diadakan. Sepanjang perjalanan dirinya kembali mengenang masa-masa indah tersebut. Dirinya bahkan masih tidak bisa menyangka bahwa dia bisa melalui semua itu. Dahulu, hari demi hari dia habiskan untuk belajar dan bekerja, tidak ada kata lelah yang mengujam tubuhnya, yang ada hanya kata semangat yang selalu ada dalam benaknya. Tidak terlepas dari itu semua, dukungan orang tua pun patut dirinya dedikasikan sebab tanpa mereka mungkin dia kini bukanlah seorang P.Nindi yang terkenal. Walaupun memang terkadang mereka tidak ada di sampingnya, tetapi sebagian perkataan merekalah yang membuat dirinya seperti sekarang.

Mobil yang membawanya kini sudah berhenti di salah satu gedung dengan banyak rangkaian bunga. Banyak orang-orang yang sudah datang dan bisa dibilang cukup ramai hingga mengakibatkan beberapa harus menunnggu di luar. Puspa pun lalu turun dari mobilnya, dia melempar senyum pada orang-orang yang menyambutnya. Sesekali dia juga mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan beberapa orang tersebut.

Puspa memasuki gedung tersebut dan langsung diarahkan ke tempat duduk yang sudah disiapkan. Kali ini matanya begitu berbinar, rasa haru juga menyelimutinya sebab sekali lagi dia tidak menyangka jika sangat banyak yang menyukai karya-karyanya. Acara pun di mulai oleh sang MC. Beberapa sambutan telah dilalui dan kini giliran sang utama yaitu penulisnya sendiri. Puspa berdiri dan melangkahkan kakinya menuju panggung, tempat di mana dia akan memberikan sepatah atau dua patah kata pada hadirin. Tidak lupa dia juga mengucapkan terima kasih pada orang-orang yang sangat berjasa bagi dirinya selama berkarir dan akhir kata dia mendedikasikan karya tersebut untuk orang-orang yang sedang berjuang diluar sana untuk menggapai cita-citanya.

Setelah acara utama selesai, lalu dilanjut dengan acara penandatanganan buku. Wanita tiga puluh empat tahun itu menyapa penggemarnya dengan sangat ramah, dia juga kerap mengajak ngobrol mereka sebelum menandatangani buku yang sudah mereka bawa. Namun, salah satu wanita yang meminta tanda tangan padanya mengambil perhatiannya ketika nama yang wanita tersebut sebutkan sama dengan nama dirinya.

"Siapa namamu?" tanya Puspa sembari menatap buku yang ingin dia tanda tangan.

"Puspa Anindita," jawaban wanita tersebut membuat puspa mendongakkan wajahnya dan menatap lekat kearah wanita tersebut.

Puspa melihat lekat wanita yang ada dihadapannya. Wanita dengan pakaian kaos biru dan celana lepis panjang itu membuat dia teringat akan dirinya yang dahulu. Lamunannya pun terbawa saat dirinya pertama kali pergi ke toko buku dan membeli sebuah buku untuk tugas dari sekolah. Buku pertama yang dirinya beli dengan uang hasil jerih payahnya membantu sang tante yang bekerja di kantin sekolah.

Saat itu dia sangat bahagia, uang pertama yang dia hasilkan dapat bermanfaat untuk menunjang pendidikannya sendiri. Di umur yang baru tujuh belas tahun, dirinya sudah dipaksa untuk hidup mandiri dan membiayai sekolahnya sendiri. Keluarganya mengalami perceraian, sang ayah hidup dengan istri barunya sedangkan sang ibu sedang mencoba untuk bangkit dari keterpurukannya. Di masa yang sulit itu, dia tidak bisa membicarakan kebutuhannya atau bahkan perasaannya secara gamblang. Dia hanya bisa menulis kata demi kata di buku harian yang selama ini menemaninya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline