Dalam era digital yang serba terhubung, remaja tumbuh di tengah dunia maya yang penuh dengan peluang, namun juga tantangan serius---salah satunya adalah cyberbullying. Perundungan siber bukan hanya persoalan ejekan atau hinaan di dunia digital, tetapi telah menjadi ancaman nyata terhadap kesehatan mental generasi muda.
Remaja berada pada tahap perkembangan emosional yang masih rentan. Ketika mereka menerima komentar menyakitkan, ancaman, atau bahkan penyebaran foto tanpa izin, hal ini tidak hanya melukai harga diri, tetapi juga bisa memicu kecemasan, depresi, gangguan tidur, bahkan pikiran untuk bunuh diri. Luka yang ditimbulkan tidak tampak secara fisik, namun sangat nyata terasa dalam batin.
Berbeda dengan perundungan konvensional, cyberbullying berlangsung tanpa batas waktu dan tempat. Korban tidak punya tempat aman, karena serangan bisa datang kapan saja melalui ponsel mereka bahkan di kamar mereka sendiri. Situasi ini membuat mereka merasa terkepung dan tidak punya kendali, yang memperparah kondisi psikologis mereka.
Sebagian besar remaja juga memilih diam karena takut dicap lemah atau malah makin dibully. Di sinilah peran lingkungan keluarga, sekolah, dan teman sebaya menjadi krusial. Dibutuhkan empati, keberanian untuk mendengar tanpa menghakimi, serta pendidikan literasi digital yang kuat agar mereka tahu kapan harus melapor dan bagaimana membela diri.
Kesimpulannya, cyberbullying bukan sekadar masalah teknologi atau etika digital ini adalah isu kesehatan mental. Kita tidak bisa membiarkan remaja menghadapi ini sendirian. Diperlukan kolaborasi antara orang tua, guru, pembuat kebijakan, dan platform media sosial untuk menciptakan ruang digital yang lebih aman. Karena setiap remaja berhak tumbuh dengan damai baik secara fisik maupun batin.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI