Lihat ke Halaman Asli

Sergie Radones L

Mahasiswa Teknik Industri di Universitas Airlangga

Menuju Indonesia Emas 2045: Perlukah Mengirim Guru Honorer ke Daerah 3T?

Diperbarui: 23 Agustus 2023   01:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sekarang ini, Pemerintah Indonesia sedang mengejar target yang sangat prestisius, yakni mencapai bonus demografi pada Indonesia Emas 2045. Salah satu aspek yang ditingkatkan adalah Pendidikan di daerah 3T (Terpencil, Terdepan, dan Terluar). Maka dari itu, muncul usulan bahwa Pemerintah perlu mengirim guru honorer sebanyak-banyaknya. Apalagi, jumlah guru honorer yang belum mendapatkan penempatan masih cukup banyak. Dikutip dari cnbcindonesia.com, masih tersisa 166.010 guru honorer yang belum ditempatkan di sekolah-sekolah.

Maka, sebagai akibat dari munculnya usulan tersebut, timbul pendapat pro dan kontra mengenai hal ini. Pendapat pro mengatakan bahwa usulan ini perlu dilakukan demi mengejar ketertinggalan di bidang pendidikan, karena Indonesia sedang mengejar target Indonesia Emas 2045, yang mengutamakan keunggulan pada demografi, sehingga kualitas SDM di daerah 3T perlu ditingkatkan agar dapat menyokong tujuan besar ini. Tetapi, di sisi lain muncul juga tentangan dari tim kontra yang mempertanyakan mengapa guru honorer yang dikirim ke daerah 3T, yang secara kualitas penghidupan itu sangat sulit. Mereka menentang hal ini karena sudah menjadi rahasia umum bahwasanya guru honorer mendapat gaji yang sangat jauh dibanding pekerjaannya. Sebagai contoh, kasus seorang guru honorer bernama Hervina yang mengajar di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Ia menggunggah gajinya di media sosial dan memperlihatkan bahwa ia hanya mendapat 700 ribu rupiah selama 4 bulan mengajar. Mirisnya lagi, ia dipecat karena unggahannya menjadi viral di masyarakat. Pihak kontra mempertanyakan mengapa tidak guru PNS saja yang dioper ke daerah 3T itu dan mengajar di sana.

Beranjak dari perdebatan tersebut, saya rasa ada solusi di balik semua masalah ini. Yaitu, dengan mengangkat guru honorer menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). PPPK sendiri berbeda dengan PNS, karena sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014, PPPK terikat dengan perjanjian kerja untuk jangka waktu tertentu. Namun, pendapatan yang diterima sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2020 tentang Gaji dan Tunjangan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja, setidaknya guru dengan status PPPK akan memperoleh gaji sebesar Rp 1.794.900 -- Rp 6.786.500, tergantung golongan yang mereka miliki. Tentu saja gaji ini jauh lebih besar daripada gaji guru honorer yang kita ketahui saat ini.

Namun, untuk menjadi PPPK memang tidaklah mudah. Mereka harus terlebih dahulu memiliki sertifikat pendidik. Sertifikat pendidik sendiri adalah sebuah sertifikat yang mengakui bahwa seseorang telah diakui menjadi guru. Untuk mendapat sertifikat ini tidaklah mudah, karena ada serangkaian hal yang harus dilalui, seperti misalnya harus mengikuti pendidikan 36 SKS, lalu harus mengikuti praktik mengajar di lapangan dan melewati tes kompetensi dan tes kinerja. Tetapi, ada kabar gembira. Karena sejak tahun 2020, Kemendikbud sudah memberikan jalan baru, yakni dengan mengajak para guru untuk mengikuti Program Guru Penggerak. Hal yang perlu dilakukan juga cukup simple. Ada 2 hal yang harus mereka lakukan agar bisa mendapat sertifikasi mengajar, yakni melaporkan tugas yang sudah dibuat  para guru ketika mengikuti Program Guru Penggerak, dan juga mengikuti uji pengetahuan.

Selain memiliki sertifikat pendidik, mereka juga harus memiliki gelar pendidikan minimal S1/D4. Diploma 3 kebawah tidak bisa menjadi calon peserta PPPK, sesuai dengan Undang-Undang Guru dan Dosen. Maka dari itu, bagi guru honorer yang belum memiliki gelar pendidikan S1/D4, sangat disarankan untuk mengikuti Rekognisi Pembelajaran Lampau (RPL). Dilansir dari sierra.kemdikbud.go.id, Rekognisi Pembelajaran Lampau (RPL) adalah pengakuan atas capaian pembelajaran seseorang yang diperoleh dari pendidikan formal, nonformal, informal, dan/atau pengalaman kerja sebagai dasar untuk melanjutkan pendidikan formal dan untuk melakukan penyetaraan dengan kualifikasi tertentu.

Setelah kita membahas topik di atas, kesimpulan yang bisa di tarik adalah:

Pemerintah sudah seharusnya mengirimkan guru honorer untuk mengajar di daerah 3T, karena masih banyak guru honorer yang belum mendapat pekerjaan, dan masih banyak daerah 3T yang sulit mendapat pendidikan yang layak. Namun, Pemerintah Indonesia melalui Kemendikbud juga perlu memerhatikan kesejahteraan para guru honorer yang dikirim ke daerah 3T, karena gaji mereka yang kecil ditambah hidup di daerah terpencil pasti membuat tidak nyaman. Maka dari itu, diperlukan sinergi dari semua pihak yang terkait, agar pendidikan di Indonesia bisa merata dan dapat menyokong Indonesia untuk meraih bonus demografi Indonesia Emas 2045.

Referensi:

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara

Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2020 tentang Gaji dan Tunjangan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja

Lumbanrau, Raja Eben 2021, Kasus Hervina dan nestapa kehidupan guru honorer: 'Dilema antara gaji rendah, pengabdian tanpa kepastian dan cinta pekerjaan', BBC News Indonesia, dilihat 21 Agustus 2023, https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-56094473

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline