Lihat ke Halaman Asli

Saroh Jarmin

Guru Bahasa Indonesia

Cerpen | Di Bawah Langit Malam Kota Bandung

Diperbarui: 23 Maret 2018   00:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ributrukun.com

Sophie Martin-ku menunjukkan pukul 22.40 ketika aku turun dari Vios hitam metaliknya. Setengah berlari aku menduluinya menuju salah satu kafe di Jalan Setiabudi. Mataku liar mencari tempat duduk yang kuanggap nyaman. 

Ruangan berukuran tak lebih dari enam kali lima meter tempat 'nongkrong' remaja Bandung ini tampak tak seramai biasanya. Barangkali karena waktu yang menjelang tengah malam dan hujan yang mengguyur sejak siang tadi membuat tempat ini sepi pengunjung. Alunan lagu-lagu lawas berbahasa Inggris menambah suasana kafe kian hening.

Di sebuah sudut, aku menunggu Rizal yang masih merapikan diri di mobilnya dan melepas beberapa asesoris dari bajunya. Seorang pelayan laki-laki menghampiri dan memberikan daftar menu kepadaku. Setelah aku mengucapkan terima kasih, pelayan itu pun berlalu. Tak lama Rizal datang. Tanpa bicara ia lalu duduk di sampingku, sambil meletakkan handphone-nya dan kunci mobilnya.

Aku memandanginya. Ia tampak merogoh saku bajunya. Keluarlah sebungkus rokok yang sudah tak lengkap isinya dan lighter perak bergambar Menara Petronas. Di bawah temaram lampu kafe, aroma parfumnya semakin tercium syahdu. Rupanya ia tak berubah. Tetaplah seorang penggemar parfum bermerek. Bahkan sepertinya ia semakin menggila dengan parfum-parfumnya. Tapi justru itulah salah satu alasan mengapa ia begitu membiusku.

"Tidak menyangka ya, kita bisa bertemu lagi. Kamu baik-baik saja kan, Win?" tanyanya berbasa-basi sambil mengambil sebatang rokok dan menyulutnya.

"Iya." Singkat saja sambil kuanggukkan kepala. Jujur, aku tak terlalu berselera untuk banyak bicara dengannya. Aku hanya ingin menuntaskan kerinduanku dengan memandanginya. 

Sembilan tahun tak bertemu telah membuat rinduku membatu. Bahkan mungkin  turut membuat air mataku mengering. Bagaimana tidak, menyimpan rindu yang teramat lama membuat dadaku sesak. Rindu benar-benar telah memenjarakanku. Tak bisa berbuat apapun, selain membiarkan air mataku menggelegak. Buatku, air mata itulah bahasa paling universal dalam menerjemahkan kepiluan hati.

"Kamu tidak berubah, Win." lanjut Rizal. Kali ini sambil melambaikan tangan kepada seorang pelayan. Aku hanya tersenyum. Mungkin benar Wina yang ia lihat malam ini tidak berubah. Aku pun merasa begitu, tetap menjadi Wina yang seperti ia kenal, kecuali usiaku yang bertambah dewasa. Badanku masih kecil, kulitku tidak pernah bisa putih, dan wajahku selalu dihiasi dengan satu dua jerawat.

"Pesan apa?" liriknya padaku, setelah pelayan berdiri di depan meja kami.

"Cappuccino panas saja." jawabku.

"Ok. Cappuccino panas dua, A." katanya kepada pelayan yang diikuti oleh anggukan pelayan dan dihiasi senyuman manis.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline