Lihat ke Halaman Asli

Sapraji

Konsultan Politik | Manajemen | Analis Kebijakan Publik | Peneliti | Penulis

Aktivisme Gen Z: Inklusivitas yang Menyatukan Lintas Isu dan Batas Negera

Diperbarui: 21 September 2025   16:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar ini menunjukkan sekelompok Gen Z yang beragam, berpartisipasi dalam demonstrasi global untuk inklusivitas. (Sumber Foto: Idisign

Gelombang demonstrasi akhir Agustus 2025 lalu di Jakarta menarik banyak perhatian, bukan semata karena isu kebijakan pendidikan yang dipersoalkan, melainkan karena wajah baru dari sebuah gerakan sosial. Para demonstran muda tidak lagi datang dengan satu tuntutan kaku, melainkan membawa isu lintas bidang yaitu pendidikan, lingkungan, kesetaraan gender, hingga hak-hak digital. Menariknya, pola serupa muncul hampir bersamaan di Nepal, Prancis, bahkan Timor Leste. Apakah kebetulan? Atau justru ada pola global yang memperlihatkan bagaimana aktivisme Gen Z menghadirkan dimensi baru dalam demokrasi?

Fenomena ini mengundang pertanyaan apa yang membedakan aktivisme Gen Z dari generasi sebelumnya? Apakah inklusivitas menjadi kunci yang menyatukan berbagai latar belakang dalam satu gerakan? Dan bagaimana pola lintas batas negara ini akan memengaruhi wajah politik masa depan?

Inklusivitas sebagai Jantung Gerakan

Jika aktivisme era 1998 di Indonesia diingat dengan ikon mahasiswa yang menggulingkan rezim Orde Baru, maka aktivisme Gen Z hari ini menampilkan wajah yang lebih cair, plural, dan penuh warna. Mereka tidak mengusung satu identitas tunggal, tetapi justru merayakan keragaman.

Aksi di Jakarta pada akhir Agustus lalu memperlihatkan bagaimana mahasiswa, komunitas lingkungan, kelompok feminis, hingga pegiat literasi digital turun dalam satu barisan. Spanduk yang dibawa pun mencerminkan mosaik isu: dari "Selamatkan Bumi Kita" hingga "Hapuskan Kekerasan Seksual." Bagi Gen Z, keadilan lingkungan tidak bisa dipisahkan dari kesetaraan gender, dan hak digital tidak bisa dilepaskan dari demokrasi politik.

Fenomena serupa tampak di Nepal, ketika ribuan anak muda memprotes kebijakan pembangunan yang dianggap mengancam ruang hidup komunitas lokal. Di Prancis, generasi muda mengusung isu kesetaraan kelas sosial bersamaan dengan protes atas diskriminasi rasial. Bahkan di Timor Leste, generasi muda yang lahir pasca-kemerdekaan berani bersuara soal transparansi anggaran dan hak-hak minoritas.

Inklusivitas ini bukan hanya soal siapa yang boleh ikut berdemonstrasi, melainkan juga bagaimana isu-isu berlapis bisa disatukan dalam kerangka besar: keadilan sosial sebagai hak universal. Gen Z tumbuh dalam dunia digital yang memperlihatkan keterhubungan global, sehingga mereka terbiasa melihat ketidakadilan tidak hanya di depan mata, tapi juga di layar ponsel.

Namun, inklusivitas ini bukan tanpa tantangan. Di satu sisi, ia menjadi kekuatan karena mampu memperluas basis solidaritas. Di sisi lain, keragaman isu kadang membuat pesan utama menjadi kabur. Apa tuntutan pokok? Bagaimana strategi perubahan kebijakan yang konkret? Ini pertanyaan yang sering dilontarkan generasi lebih tua, bahkan media arus utama.

Di sinilah Gen Z mencoba menjawab dengan gaya baru mereka tidak selalu menuntut satu resolusi final, melainkan membuka ruang percakapan panjang tentang perubahan struktural. Gerakan sosial bukan lagi dimaknai sebagai momen sekali jadi, melainkan rangkaian proses yang terus berlanjut.

Dari Jalanan ke Ruang Digital: Masa Depan Gerakan Lintas Batas

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline