Lihat ke Halaman Asli

Salmun Ndun

Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain

Di Antara Adat dan Hasrat Hati: Menelusuri Nilai Sosial Peminangan

Diperbarui: 2 Oktober 2025   17:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Input gambar: dokpri, suasana saat proses peminangan

DI ANTARA ADAT DAN HASRAT HATI: MENELUSURI NILAI SOSIAL PEMINANGAN

*Salmun Ndun,S.Pd., Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain, Kab. Rote Ndao

Input gambar: youtube.com

Peminangan seringkali dipandang sekadar sebagai ritual perkenalan keluarga atau proses awal menuju pernikahan. Namun jika ditilik dari lensa budaya, peminangan menyimpan nilai yang jauh lebih dalam. Ia bukan hanya seremonial, melainkan bentuk penghormatan kepada nilai-nilai sosial yang hidup di tengah masyarakat. Dalam banyak tradisi, peminangan adalah jembatan antara ruang privat dan ruang publik, suatu peralihan dari hubungan dua insan yang bersifat personal menjadi hubungan antar dua keluarga besar yang dilandasi oleh tata nilai, kesopanan, dan komitmen.

Input gamar: dokpri, para tetamu yang menghadiri acara peminangan

Adat memberi kerangka yang menertibkan hasrat hati, menjinakkan ego cinta, dan mengajarkan bahwa keputusan untuk menikah bukan urusan individu semata. Proses ini merepresentasikan kesiapan batin, moral, dan sosial, bukan sekadar kesiapan emosional. Dengan demikian, memaknai peminangan hanya sebagai formalitas semata berarti mengabaikan warisan budaya yang telah lama menjaga martabat dan kesakralan pernikahan itu sendiri.

Tiap daerah di Indonesia memiliki cara unik dalam memaknai dan melaksanakan proses peminangan. Sebagai contoh di Minangkabau, misalnya, pihak perempuan yang secara adat memulai prosesi dengan tradisi maresek, mencerminkan matrilinealitas budaya mereka. Sementara di Jawa, prosesi lamaran melibatkan banyak simbol seperti siraman dan seserahan yang sarat makna kesucian dan kesiapan hidup bersama. Di Bali, adat peminangan bisa bersifat sangat spiritual, diiringi dengan doa-doa dan persembahan kepada leluhur.

Di Nusa Tenggara Timur, seperti di Rote atau Sumba, proses peminangan sering melibatkan negosiasi belis (mas kawin adat) yang bukan sekadar transaksi, melainkan simbol tanggung jawab, penghormatan, dan pengikat dua keluarga besar. Perbedaan ini menunjukkan bahwa peminangan bukan hanya prosesi menuju pernikahan, melainkan juga cermin identitas budaya dan nilai-nilai yang dijunjung dalam komunitas masing-masing.

Input gambar: dokpri

Dalam Konteks Sosial, peminangan bukan hanya peristiwa simbolik untuk mengikat dua insan yang saling mencinta, melainkan juga sebuah pernyataan sosial yang membawa konsekuensi luas. Dalam konteks masyarakat, peminangan menjadi bentuk pengakuan publik bahwa hubungan yang sebelumnya bersifat pribadi kini telah diangkat ke ranah sosial, di mana norma, nilai, dan ekspektasi keluarga serta komunitas ikut terlibat. Inilah momen ketika cinta tidak lagi berdiri sendiri, melainkan harus berdampingan dengan tanggung jawab dan kesanggupan untuk menjalani hidup bersama dengan restu serta dukungan lingkungan sosial.

Terkandung nilai-nilai seperti penghormatan kepada orang tua, keterbukaan dalam komunikasi antar keluarga, serta kesediaan untuk menerima perbedaan menjadi inti dari makna sosial peminangan. Bahkan, dalam banyak kebudayaan, peminangan mencerminkan status sosial, etika, dan tata krama yang dijunjung tinggi, seolah menjadi semacam jembatan moral antara kebebasan memilih pasangan dengan kewajiban menjaga tatanan masyarakat. Oleh karena itu, meminang bukan sekadar datang membawa seserahan, melainkan juga mengandung pesan bahwa hubungan ini siap diuji, dilihat, dan didoakan bersama oleh komunitas yang lebih luas.

Input gambar: dokpri, saat calon pengantin pria diantar masuk untuk diperkenalkan kepada para tetamu

Perihal adat dan hasrat hati sering kali berada dalam tarik-menarik antara keinginan pribadi dan tuntutan sosial, terutama dalam proses peminangan. Di tengah arus modernitas yang menekankan kebebasan memilih dan ekspresi cinta yang spontan, adat tetap hadir sebagai penuntun arah agar hubungan tak kehilangan pijakan nilai. Generasi muda kini sering dihadapkan pada dilema antara mengikuti suara hati secara instan atau menghormati tahapan adat yang dianggap lamban dan penuh aturan. Namun justru dalam pertemuan itulah terjadi dinamika penting, ketika cinta yang liar dijinakkan oleh kearifan tradisi, dan adat yang kaku dilunakkan oleh kehangatan cinta.

Memahami peminangan sebagai suatu tahapan penting yang menjembatani hubungan dua insan dari kedekatan emosional menuju ikatan yang sah secara sosial dan spiritual. Dalam proses ini, niat baik diresmikan, komitmen diperkuat, dan restu dari keluarga besar menjadi penopang utama. Peminangan bukan sekadar pernyataan cinta, tetapi deklarasi kesiapan untuk memikul tanggung jawab bersama dalam sebuah rumah tangga.

Input gambar: dokpri

Di titik inilah peminangan menjadi sakral, karena ia membawa harapan dan doa dari banyak pihak yang terlibat, bukan hanya kedua pasangan saja, tetapi juga orang tua, kerabat, dan komunitas. Proses ini melibatkan simbol-simbol yang kaya makna: dari hantaran yang menggambarkan niat baik dan kesiapan materi, hingga untaian kata dalam pertemuan keluarga yang mencerminkan kesungguhan dan ketulusan hati.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline