GUGUR BUKAN DI MEDAN PERANG, TAPI OLEH TEMAN
*Salmun Ndun,S.Pd., Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain, Kab. Rote Ndao
Tragedi memilukan kembali mencuat dari dalam institusi yang seharusnya menjadi garda terdepan penjaga bangsa, saat seorang prajurit muda harus kehilangan nyawanya bukan karena musuh, tetapi karena kekerasan dari orang-orang yang seharusnya menjadi saudara seperjuangan. Seorang anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Darat berpangkat Prajurit Dua (Prada) bernama Lucky Chepril Saputra Namo (23), yang bertugas di Batalyon TP 834 Wakanga Mere, Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur, harus meregang nyawa bukan di medan perang atau dalam baku tembak mempertahankan kedaulatan bangsa, melainkan justru di tangan beberapa seniornya sendiri.
Input gambar: facebook
Input gambar: viva.com
Mungkinkah sedang terjadi luka di tubuh dan luka di sistem? Apa yang menimpa Prada Lucky bukan sekadar luka fisik yang membekas di kulit, tapi mencerminkan luka yang jauh lebih dalam yakni luka dalam sistem. Di balik retorika pembentukan mental dan loyalitas, sering kali tersembunyi praktik kekerasan yang diwariskan dari generasi ke generasi, seolah menjadi bagian dari tradisi tak tertulis dalam dunia militer. Disiplin memang menjadi pilar utama dalam membentuk karakter prajurit, namun saat disiplin bertransformasi menjadi kekerasan, saat loyalitas diukur dengan kekuasaan senior atas junior, maka yang lahir bukan prajurit tangguh, melainkan korban.
Sebab, kekerasan yang dibungkus dengan embel-embel pembinaan akhirnya menjelma menjadi racun yang melemahkan tubuh institusi itu sendiri. Jika sistem tak mau berubah, jika pelaku terus dilindungi, dan suara korban terus dibungkam, maka luka itu tak hanya akan terus menganga di tubuh Prada Lucky tapi juga di wajah institusi yang seharusnya menjaga kehormatan negara.
Menurut Dr. Indria Samekto, pakar Hukum Humaniter dan Militer dari Universitas Diponegoro, bahwa tindakan penyiksaan yang dilakukan oleh senior terhadap yunior dalam tubuh TNI tidak hanya melanggar etika militer, tetapi juga merupakan pelanggaran serius terhadap hukum pidana dan hak asasi manusia. Ia menegaskan bahwa dalam konteks hukum, tidak ada alasan apapun, termasuk pembinaan disiplin yang dapat membenarkan kekerasan fisik terhadap sesama anggota.
Kasus seperti yang menimpa Prada Lucky mencerminkan adanya degradasi nilai dalam budaya organisasi militer yang seharusnya menjunjung tinggi kehormatan, solidaritas, dan perlindungan terhadap sesama anggota. Terlepas dari dugaan masalah pribadi lainnya, tindakan kekerasan tetap tidak dapat dibenarkan dan menunjukkan kegagalan sistem dalam menjaga nilai-nilai dasar kemiliteran. Selain itu, kekerasan yang terjadi di lingkungan tertutup seperti barak sering kali berakar dari warisan budaya senioritas yang tidak terkendali dan lemahnya pengawasan internal. Pembenahan harus dilakukan secara struktural dan kultural, agar mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap institusi militer sebagai penjaga kehormatan bangsa.
Kematian Prada Lucky seakan menampar kesadaran kita bahwa sistem yang mestinya melindungi, justru diam saat kekerasan terjadi di dalam barak. Mekanisme pengawasan internal yang seharusnya menjadi benteng terakhir pencegahan, tampak tak berfungsi sebagaimana mestinya. Jika penganiayaan berlangsung hingga menimbulkan luka serius tanpa ada intervensi cepat, maka jelas ada celah besar dalam rantai komando dan kontrol. Kondisi ini menciptakan ruang bagi praktik kekerasan untuk terus terjadi, seolah tak ada mekanisme yang sigap dan tegas dalam melindungi prajurit dari bahaya yang justru datang dari dalam institusi sendiri.
Tragedi gugurnya Prada Lucky tak hanya meninggalkan duka mendalam bagi keluarga, tetapi juga menyisakan luka kemanusiaan yang mencederai nurani publik. Seorang anak muda yang dengan bangga mengabdi untuk negara justru pulang dalam peti jenazah karena tindakan brutal dari sesama prajurit. Rasa kehilangan yang dirasakan orangtua, saudara, dan sahabatnya, tidak bisa ditebus dengan permintaan maaf atau pemakaman militer. Di sisi lain, masyarakat pun mulai mempertanyakan kredibilitas dan integritas institusi pertahanan. Jika di lingkungan militer saja nyawa bisa melayang tanpa perlindungan dan keadilan, bagaimana mungkin rakyat bisa merasa aman? Kepercayaan publik bisa runtuh bukan karena musuh dari luar, tetapi karena ketidakmampuan institusi menjaga kehormatan di dalam. Tragedi ini menjadi alarm keras bahwa kekerasan dalam sistem bukan hanya soal pelanggaran disiplin, tapi pelanggaran nilai-nilai kemanusiaan yang paling dasar.