Lihat ke Halaman Asli

Salma Nur Fadilla

Mahasiswa On Going

Dunia Pragmatik: Medium Reflektor Emosional dalam Kesedihan

Diperbarui: 14 Juni 2025   20:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Sebagai alat pembangun interaksi, bahasa juga memainkan perannya sebagai petunjuk navigasi dalam menyalurkan kedalaman emosi antarpenutur. Setiap untaian kata, gestur, maupun ekspresi yang hadir---secara kuat memantulkan realitas makna---yang memudahkan kita untuk memahami apa yang dirasakan orang lain. Nyatanya, kerja bahasa untuk memproduksi makna tidak hanya terbatas dari kata-kata yang terucap, lebih dari itu diperlukan perhatian penuh untuk menangkap konteks yang melingkupinya. Dari sinilah cara kerja pragmatis diuji.

Pragmatik---studi tentang bagaimana konteks membentuk makna dalam komunikasi. Dalam hal ini, situasi dan kondisi yang muncul bersamaan memengaruhi bagaimana kita memproses bahasa. Suasana yang seringkali menguji kita untuk menavigasi kata-kata yang tepat diungkapkan adalah dalam suasana yang sangat emosional seperti kesedihan atau perpisahan---mendorong cara sikap pragmatis yang benar untuk mengekpresikan diri maupun memahami orang lain. Saat kita menghadapi teman yang sedang dalam kondisi duka, kita tidak hanya merasakan vibrasi emosi lawan bicara, juga mengarahkan perhatian kita untuk memproses kata yang tepat untuk mengomunikasikannya kepada lawan bicara.

Dalam situasi terpuruk dengan kondisi emosional yang begitu mendalam, seseorang membutuhkan teman bicara untuk menyalurkan lanskap emosi yang dirasakan. Pragmatik dalam situasi ini mencoba untuk menavigasi norma-norma sosial yang sesuai termasuk dalam situasi kesedihan. Kita dapat mempertimbangkan antara mengekspresikan emosi kita untuk bisa dipahami orang lain atau memilih diam dan menahan diri agar tidak membebani diri sendiri atau orang lain. Demikian, pragmatik memberi kita alat untuk menimbang pilihan-pilihan ini sebagai cara terbaik mengelola kesedihan.

Membatasi Kata, Menjaga Citra

Membangun komunikasi saat teman atau saudara dalam kondisi terpuruk, orang cenderung melindungi kata-kata mereka dengan sesuatu yang memberi kenyamanan. Teori kesopanan, yang dikembangkan oleh Brown dan Levinson, menjelaskan bagaimana orang menggunakan bahasa untuk menjaga 'citra' mereka sendiri dan orang lain --- selama percakapan. Hal ini khususnya relevan dalam situasi kesedihan, di mana emosi berada pada lapisan terbawah yang begitu rapuh sehingga orang lebih memilih memberi pertimbangkan dalam bertindak dan menjalin interaksi.

Saat menyampaikan perasaan empati kepada teman yang sedang melalui hari yang berat, alih-alih mengatakan, "Aku turut sedih mendengarnya," terdengar lebih nyaman untuk memilih frasa seperti, "aku yakin kamu kuat" atau "aku akan akan selalu ada untukmu" Frasa-frasa ini memberi dukungan dan penguatan---mempertahankan atensi yang lembut dan penuh empati dengan mencoba membuat situasi lebih mudah ditangani. Namun, tentu saja efektivitas semacam itu bergantung pada pembicara dan pendengar. Dengan mempertimbangkan norma-norma kesopanan dalam berbahasa, pembicara akan merasa lebih mampu mengendalikan pembicaraan atau lebih nyaman mengekspresikan kesedihannya.

Tindak Tutur dalam Menumbuhkan Empati

Teori tindak tutur Searle menyatakan bahwa ujaran tertentu tidak sekadar menyampaikan informasi, tetapi juga menimbulkan tindakan. Dalam komunikasi empatik, frasa seperti "Beri tahu saya jika ada yang bisa saya lakukan" bersifat performatif --- frasa tersebut menawarkan kenyamanan dan dukungan. Namun, tindak tutur ini terkadang terasa hampa jika tidak didukung oleh tindakan yang bermakna. Misalnya, "Beri tahu saya jika Anda membutuhkan sesuatu" mungkin terdengar mendukung, tetapi memungkinkan untuk membebani lawan bicara meminta bantuan, hal ini bisa membuat mereka merasa tidak nyaman melakukannya. Namun, jika dengan mengatakan, "Saya akan membantu kamu menyelesaikan proyek itu malam ini --- Anda tidak perlu khawatir tentang apa pun." Hal ini mengubah tawaran bantuan yang samar menjadi tindakan konkret---memberi tawaran nyata, yang meminimalisir beban orang yang diajak bicara.

Percakapan Tidak Selalu Terikat Pada "Aturan"

Dalam percakapan sehari-hari, sudah menjadi keharusan untuk mengikuti aturan tidak tertulis untuk menjaga interaksi tetap efisien. Aturan ini dikenal sebagai Prinsip Kerja Sama Grice---yang berisi paduan dalam interaksi dengan memberikan informasi dalam jumlah yang tepat, relevan, mengatakan yang sebenarnya, dan jelas. Namun, dalam situasi terpuruk atau dalam suasana sedih, prinsip-prinsip ini sering kali tidak berlaku karena emosi lebih diutamakan daripada ekspektasi percakapan yang terikat pada prinsip tersebut.

1. Maksim Kuantitas: Seberapa banyak informasi yang harus dikatakan?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline