Lihat ke Halaman Asli

Nilai Ujian yang Tidak Sesuai Harapan: Antara Kecewa dan Pelajaran Berharga

Diperbarui: 21 September 2025   22:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kekecewaan yang Pernah Saya Rasakan

       Saya masih ingat ketika duduk di kelas 5 SD. Saat itu, saya sudah belajar berhari-hari untuk menghadapi ulangan IPA. Semua catatan sudah saya baca, soal latihan sudah saya kerjakan, bahkan saya rela begadang agar lebih siap. Namun, ketika lembar hasil ulangan dibagikan, hati saya runtuh. Nilai yang muncul jauh dari harapan.

Bagi seorang anak kecil, momen itu sangat memukul. Rasanya semua usaha yang saya lakukan sia-sia. Apalagi saat melihat teman-teman lain bersorak gembira karena mendapat nilai lebih tinggi. Saya hanya bisa terdiam, menahan perasaan campur aduk antara kecewa, malu, dan tidak percaya diri.

Menghubungkan dengan Psikologi Pendidikan

         Dari sudut pandang psikologi pendidikan, pengalaman ini bisa dijelaskan melalui konsep atribusi. Anak cenderung mencari penyebab dari keberhasilan atau kegagalannya. Ada yang menyalahkan diri sendiri, ada yang menyalahkan soal ujian, bahkan ada yang menyalahkan guru. Pola pikir inilah yang akan membentuk cara anak menghadapi tantangan di masa depan.

        Jika seorang anak terbiasa menyalahkan kemampuan dirinya semata, maka rasa minder bisa muncul dan membuat motivasi belajar menurun. Namun, jika guru mampu mengarahkan dengan bijak, kegagalan bisa dipandang sebagai bagian dari proses, bukan akhir dari segalanya.

Peran Guru dalam Mengelola Rasa Kecewa

        Saya beruntung memiliki guru yang tidak hanya mengembalikan hasil ujian, tetapi juga memberi penjelasan. Beliau mengatakan, "Nilai bukan penentu segalanya. Justru dari sini kamu tahu bagian mana yang perlu diperbaiki." Ucapan itu sederhana, tetapi sangat berarti.

        Dalam psikologi pendidikan, hal ini sejalan dengan pentingnya umpan balik konstruktif. Anak tidak hanya diberi tahu hasilnya, tetapi juga diarahkan bagaimana memperbaikinya. Dengan cara ini, kegagalan tidak menjadi momok, melainkan pijakan untuk melangkah lebih baik.

Refleksi Pribadi

        Kini, setiap kali saya gagal dalam suatu hal, saya selalu teringat momen di SD itu. Rasa kecewa memang wajar, tetapi jangan sampai mengubur semangat untuk mencoba lagi. Justru kegagalan pertama itulah yang mengajarkan saya arti ketekunan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline