Lihat ke Halaman Asli

Saepullah

Dosen Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) Jakarta

Dedi Mulyadi dan Egi: Komunikasi Budaya dan Kemanusiaan dalam Hubungan Orang Tua dan Anak

Diperbarui: 18 Mei 2025   14:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sebagai masyarakat multikultural, Indonesia membutuhkan model komunikasi yang menghargai budaya dan nilai kemanusiaan khususnya dalam konteks keluarga. Hubungan Dedi Mulyadi, seorang tokoh masyarakat dan budayawan Sunda dengan Egi, anak angkatnya, menjadi salah satu fenomena menarik di mana komunikasi antar budaya dan pendekatan humanistik diterapkan dalam konteks pengasuhan. Kisah ini lebih dari sekedar hubungan hukum, lebih merupakan perwujudan dari pertemuan antara nilai-nilai tradisional dengan modern.

Dedi Mulyadi, sebagai tokoh yang sangat mengedepankan nilai-nilai Budaya Sunda, mengadopsi kebijakan lokal Sunda, menjadikan Egi sebagi anak angkatnya. Ia mengadopsi falsafah Sunda seperti "silih asih, silih asah, silih asuh" yaitu saling mengasihi, saling mengajari, dan saling menjaga. Nilai-nilai ini tidak hanya dikomunikasikan secara lisan, tetapi dilakukan dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam kegiatan adat dan penggunaan bahasa Sunda di ranah informal.

Sangat relevan menggunakan teori high-context culture Edward T. Hall (1976) untuk memahami pola komunikasi ini, yaitu teori yang menggambarkan budaya, yang dibangun melalui komunikasi, mengandalkan isyarat kontekstual seperti bahasa tubuh, nada suara, dan hubungan antar individu, dari pada kata-kata eksplisit.

Dedi Mulyadi sebagai High context figure menerapkan dalam kehidupannya. Ia tidak hanya memberitahu Egi tentang nilai-nilai kehidupan, tetapi mengajaknya berpartisipasi dalam budaya dan tradisi. Pendekatan ini masih menunjukkan bahwa dalam budaya Sunda, komunikasi memiliki arti yang dalam dan kompleks, sering tersirat dalam banyak simbol dan konteks.

Hubungan antara Dedi Mulyadi dan Egi, di atas landasan yang lebih dalam, dibandingkan hanya sekedar hubungan formal. Pendekatan humanistik Carl Rogers (1961), melalui tiga fondasi yaitu empati, penghargaan tanpa syarat dan kesesuaian, terlihat jelas bagaimana keduanya berinteraksi.  Dedi Mulyadi menunjukkan empati dengan memahami latar belakang Egi sepenuhnya sebelum menjalin hubungan sebagai orang tua dan anak.

Penghargaan positif tanpa syarat tercermin dalam cara Dedi menerima Egi sebagai seorang putra, tanpa memberlakukan batasan tertentu mengenai budaya atau adat istiadat. Sementara konsistensi ditampilkan melalui komunikasi yang bebas, terbuka dan jujur, Dedi dan Egi tidak hanya mengikat diri mereka sebagai ayah dan anak; melainkan, Dedi bertindak sebagai orang tua yang penyayang dan penuh pengertian pula.

Mealui teori dimensi budaya Hofstede dapat dipahami adanya penghargaan terhadap dinamika budaya dalam hubungan ini. Dedi Mulyadi mewakili budaya kolektivistis Sunda yang berfokus pada kohesi grup sementara Egi kemungkinan dibesarkan dalam budaya yang lebih individualistis. Yang luar biasa adalah bagaimana mereka dapat menyeimbangkan perbedaan ini dan membangun dinamika keluarga di dalam perbedaan tersebut.

Pola komunikasi humanistik Rogers jelas terlihat dalam hubungan mereka. Ini melampaui ikatan darah dan menggabungkan pemahaman bahwa ikatan keluarga berlandaskan komitmen untuk saling mendukung. Hubungan ini memberikan wawasan mendalam bagi masyarakat Indonesia yang beragam.

Mereka menunjukkan bahwa keluarga dapat dibentuk melalui komunikasi yang mengintegrasikan nilai budaya dan kemanusiaan. Dengan pendekatan budaya Sunda yang kental Urang, dilengkapi dengan prinsip-prinsip humanistik, terwujudlah lingkungan pengasuhan yang inklusif dan penuh kasih.

Kisah mereka menjadi inspirasi bahwa dalam keberagaman yang ada dalam sebuah budaya, ikatan keluarga yang kuat tetap dapat dibangun. Kuncinya, terdapat pada kesediaan untuk saling mengerti dan menghargai perbedaan serta berkomitmen untuk saling bertumbuh. Pada pola yang lebih luas, komunikasi seperti ini mempunyai potensi untuk digunakan dalam menciptakan pola sosial yang harmonis dalam masyarakat yang multikultur, termasuk di Indonesia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline