Lihat ke Halaman Asli

Relevansi Seni Perang Sun Tzu dalam Geopolitik Global

Diperbarui: 29 Juni 2025   17:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sun Tzu The Art of War (Sumber Gambar:  Wisata - Viva)

Pemikiran Sun Tzu dalam karya klasik The Art of War telah melampaui batas-batas militer dan memasuki berbagai ranah strategi, termasuk geopolitik global. Meskipun ditulis lebih dari 2.500 tahun yang lalu, prinsip-prinsipnya tetap relevan dalam memahami dinamika kekuasaan antarnegara. Dalam konteks geopolitik modern yang ditandai oleh perebutan pengaruh global, persaingan ideologis, serta perang asimetris dan siber, strategi Sun Tzu tentang manipulasi, diplomasi, dan kemenangan tanpa pertempuran menjadi semakin penting. Sun Tzu mengajarkan bahwa "kemenangan terbesar adalah yang diraih tanpa pertempuran" (supreme excellence consists in breaking the enemy's resistance without fighting), suatu pendekatan yang selaras dengan strategi soft power dan diplomasi kontemporer yang banyak digunakan oleh negara-negara seperti Tiongkok dan Amerika Serikat dalam menghadapi tantangan geopolitik global.

Strategi geopolitik Tiongkok, misalnya, sangat mencerminkan ajaran Sun Tzu. Melalui proyek ambisius Belt and Road Initiative (BRI), Tiongkok telah menancapkan pengaruhnya ke lebih dari 140 negara di Asia, Afrika, dan Eropa tanpa menggunakan kekuatan militer secara langsung. Pendekatan ini mengedepankan dominasi ekonomi dan konektivitas infrastruktur sebagai alat untuk memperluas kekuasaan dan memperkuat posisi geopolitik. Strategi ini sejalan dengan prinsip Sun Tzu tentang pentingnya mengenali medan tempur dan menguasai logistik sebelum memulai peperangan. Bahkan, dalam The Art of War, Sun Tzu menyatakan bahwa "perang adalah jalan tipu daya" (all warfare is based on deception), dan BRI dapat dipahami sebagai manuver strategis yang secara halus menundukkan negara-negara mitra melalui utang dan ketergantungan ekonomi, alih-alih konflik terbuka.

Selain Tiongkok, Amerika Serikat juga menggunakan prinsip-prinsip Sun Tzu dalam strategi geopolitiknya, terutama dalam persaingan hegemoni global. Salah satu contohnya adalah penggunaan kekuatan siber dan perang informasi untuk mendestabilisasi lawan geopolitik tanpa keterlibatan militer langsung. Konflik Ukraina-Rusia sejak 2022 merupakan ladang pertempuran tidak langsung antara kekuatan Barat yang dipimpin Amerika Serikat melawan Rusia. Dalam konflik ini, kekutan Barat menggunakan sanksi ekonomi, propaganda media, dan diplomasi koalisi sebagai bentuk "perang tanpa perang." Amerika Serikat, bersama Uni Eropa, menjatuhkan lebih dari 12.000 sanksi kepada Rusia per Maret 2023, menjadikannya negara yang paling banyak dijatuhi sanksi dalam sejarah modern. Strategi ini bertujuan untuk melemahkan Rusia dari dalam, menciptakan instabilitas domestik, dan mengurangi kapasitas militernya sejalan dengan strategi Sun Tzu tentang menguras kekuatan musuh .

Strategi militer Rusia sendiri pun mencerminkan penerapan seni perang Sun Tzu dalam beberapa aspek. Dalam invasi ke Ukraina, Rusia melakukan penumpukan pasukan secara besar-besaran di perbatasan selama berminggu-minggu sebelum menyerang pada Februari 2022. Hal ini merupakan bentuk intimidasi psikologis dan manipulasi medan tempur, dua strategi yang digambarkan oleh Sun Tzu dalam bentuk pengelabuan musuh. Lebih jauh lagi, penggunaan pasukan siber dan kampanye disinformasi oleh Rusia baik dalam konteks konflik Ukraina maupun dalam pemilu negara-negara Barat dapat dianggap sebagai bentuk dari prinsip "membingungkan dan memecah musuh." Strategi ini menunjukkan bahwa dalam perang modern, medan pertempuran tidak lagi terbatas pada wilayah fisik, tetapi juga meliputi dunia maya, media sosial, dan opini publik global.

Dalam konteks Timur Tengah, relevansi strategi Sun Tzu juga dapat dilihat dalam manuver Iran yang cerdik dalam geopolitik regional. Iran, sebagai kekuatan non-konvensional, memanfaatkan pengaruh ideologis dan jaringan milisi untuk melawan dominasi Amerika Serikat dan sekutunya. Kelompok seperti Hizbullah di Lebanon, Houthi di Yaman, dan milisi Syiah di Irak merupakan bentuk "pasukan tidak terlihat" yang digunakan Iran untuk menekan lawan-lawannya secara tidak langsung. Strategi ini mencerminkan prinsip Sun Tzu tentang "menyerang ketika musuh lemah dan menghindar ketika kuat." Iran lebih memilih menggunakan proksi dari pada konfrontasi langsung, karena sadar akan keterbatasan militernya dibandingkan kekuatan konvensional Amerika Serikat. Strategi ini juga memperkuat posisi Iran sebagai pemain utama dalam dinamika geopolitik Timur Tengah tanpa harus melakukan invasi besar-besaran.

Konsep know yourself and know your enemy, yang menjadi salah satu kutipan paling terkenal dari Sun Tzu, menjadi sangat penting dalam geopolitik modern yang sarat ketidakpastian. Dalam konflik Laut Cina Selatan, misalnya, Tiongkok secara sistematis memahami titik lemah negara-negara ASEAN serta kekakuan hukum internasional seperti UNCLOS. Dengan membangun pulau buatan di gugusan pulau spratly dan menempatkan instalasi militer di sana, Tiongkok tidak hanya menunjukkan kekuatan, tetapi juga memainkan permainan strategis jangka panjang yang berorientasi pada dominasi wilayah. Dalam kerangka ini, Tiongkok memahami bahwa Amerika Serikat enggan terlibat secara langsung karena risiko perang terbuka yang tinggi. Maka, strategi Sun Tzu diterjemahkan secara konkret dalam bentuk ekspansi diam-diam yang sulit direspons dengan kekuatan militer tanpa memicu eskalasi besar.

Penerapan strategi Sun Tzu tidak hanya terbatas pada negara-negara besar. Negara-negara kecil pun dapat memanfaatkan prinsip-prinsip ini untuk bertahan dalam tatanan geopolitik yang tidak seimbang. Contoh menarik dapat ditemukan dalam strategi diplomasi Singapura. Meskipun berukuran kecil dan tanpa sumber daya alam yang signifikan, Singapura berhasil menjadi kekuatan ekonomi dan diplomatik di Asia Tenggara. Pendekatannya yang pragmatis, netral, dan berbasis pada kepentingan nasional mencerminkan ajaran Sun Tzu tentang "kemenangan tergantung pada kalkulasi matang, bukan pada keberanian semata." Singapura menghindari konflik langsung dan justru membangun kekuatan melalui keunggulan informasi, ekonomi, dan diplomasi, menjadikannya model negara kecil dengan strategi besar.

Dalam tataran lebih luas, relevansi Sun Tzu juga tampak dalam pertarungan hegemoni antara model demokrasi liberal dan otoritarianisme modern. Amerika Serikat dan sekutunya mencoba mempertahankan tatanan dunia berbasis aturan (rules-based order), sedangkan Tiongkok dan Rusia menantangnya dengan model multipolaritas dan kedaulatan absolut. Dalam konteks ini, prinsip-prinsip Sun Tzu tentang pemanfaatan peluang, kecepatan pengambilan keputusan, dan kehati-hatian dalam konflik sangat diperlukan untuk menjaga stabilitas dunia. Misalnya, kebijakan Amerika Serikat yang memperkuat kemitraan QUAD (dengan India, Jepang, dan Australia) serta AUKUS (dengan Inggris dan Australia) di kawasan Indo-Pasifik adalah bentuk penyusunan aliansi strategis yang menurut Sun Tzu adalah bagian dari perencanaan kemenangan jangka panjang sebelum perang pecah.

Perang Ukraina juga menunjukkan bahwa banyak pemimpin modern masih gagal memahami prinsip-prinsip dasar strategi Sun Tzu. Rusia, yang diperkirakan akan menyelesaikan operasi militer di Ukraina dalam hitungan minggu, ternyata terjebak dalam konflik berkepanjangan yang menguras sumber daya, moral pasukan, dan reputasi internasionalnya. Hal ini menegaskan ajaran Sun Tzu bahwa "jika perang berlangsung lama, senjata akan tumpul dan semangat pasukan pun akan padam." Ketidakmampuan untuk menghitung reaksi internasional, perlawanan rakyat Ukraina, dan ketahanan ekonomi Rusia sendiri menyebabkan strategi tersebut bertolak belakang dengan prinsip-prinsip Sun Tzu yang menekankan efisiensi, kejutan, dan dominasi cepat.

Relevansi Sun Tzu juga dapat ditemukan dalam pendekatan non-militer yang berkembang di era kontemporer, seperti strategi diplomasi ekonomi dan dominasi teknologi. Perlombaan kecerdasan buatan (AI), semikonduktor, dan teknologi kuantum antara Tiongkok dan Amerika Serikat adalah medan baru dalam geopolitik global. Negara yang menguasai teknologi akan mendominasi informasi, produksi militer, dan struktur ekonomi dunia. Dalam The Art of War, Sun Tzu menekankan pentingnya informasi dan spionase sebagai unsur utama dalam kemenangan. Oleh karena itu, dominasi di bidang teknologi informasi menjadi "medan tempur" baru yang menentukan siapa yang akan memegang kendali kekuatan global dalam beberapa dekade ke depan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline