Kalau dengar cerita pegawai IT di sebuah bank BUMN yang diwajibkan cari tiga nasabah baru setiap bulan, saya beneran terdiam. Bukan karena kaget, tapi lebih ke "Sejak kapan kerjaan IT berubah jadi marketing?".
Di media sosial X dan TikTok, cerita ini ramai karena bikin banyak orang relate: jobdesc utama sudah berat, lembur tiap hari, eh malah ditambah target di luar kompetensi.
Mari kita bongkar bareng, kenapa hal seperti ini bisa bikin banyak orang geram, apa dampaknya buat karyawan, dan bagaimana seharusnya perusahaan mengatur strategi kerja.
Multi-Role Tanpa Multi-Gaji
Istilah multi-role memang manis kalau ditulis di iklan lowongan pekerjaan: karyawan fleksibel, bisa adaptasi, serba bisa. Tapi kalau realitanya cuma tambah beban tanpa tambah gaji, rasanya pahit banget.
Seorang di bagian IT yang biasanya fokus pada server, bug, patch, sampai troubleshooting user, sekarang diminta bawa nasabah baru.
Apa hubungannya kompetensi teknis dengan kemampuan prospek nasabah? Nol besar. Kalau dipaksa, hasilnya bisa absurd: database bocor karena kurang fokus, sistem down karena kelelahan, dan target nasabah pun tidak tercapai. Semacam double kill, tapi versinya korporat.
Budaya Kerja: Produktif atau Eksploitatif?
Pertanyaan yang bikin saya mikir adalah apakah perusahaan benar-benar ingin produktif, atau sebenarnya mereka lagi eksplor cara paling efisien buat peras tenaga kerja?
Kalau tujuan utamanya memang menambah nasabah, kenapa nggak investasi di tim marketing yang memang terlatih untuk itu? Kalau semua lini dipaksa jualan, bukankah itu sinyal bahwa strategi perusahaan kurang matang?
Di sini terlihat jelas, masalah bukan sekadar beban tambahan. Masalah utamanya adalah ketidakcocokan antara peran dan tujuan. IT dibayar untuk memastikan sistem jalan mulus, bukan jadi sales freelance.
Efek Psikologis
Orang sering lupa, ketika jobdesc ditambah tanpa diskusi, efeknya bukan cuma fisik. Mental juga kena. Lembur tiap malam sudah bikin kepala panas, lalu dituntut lagi dengan target baru yang terasa mustahil.