Lihat ke Halaman Asli

Rully Moenandir

TV and Movie Worker

Getek, Transportasi Baru Ibu Kota?

Diperbarui: 29 Juni 2019   04:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto Dokpri

Entah gimana ceritanya, malam itu saya mimpi naik getek untuk memotong jalan. Dan ajaibnya lagi, beberapa hari setelahnya, adik saya yang tinggal di Malaysia-pun membuat status medsos-nya mengenai getek; What a coincident, huh?

===

Getek yang menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) merupakan rakit, atau padanan lainnya yang berarti sifat buruk dari seorang perempuan ini, merupakan alat transportasi harian saya sejak SMA sampai kuliah. 

Maklum saja, sejak SMA saya dari rumah lebih sering menggunakan Bemo (baca disini) menuju Grogol, lalu menyeberang kali Grogol untuk menuju Terminal Bis; yang saat itu jarak lokasi pangkalan bemo dan terminal kondisinya cukup jauh bila berjalan kaki, sedangkan dengan getek menjadi lebih dekat, karena memotong aliran sungai/kali langsung menuju pinggir terminal Grogol, yang kemudian tinggal naik bis dan membawa saya ke sekolah di bilangan Slipi Jakarta.

Saat itu, sekitar tahun 1990-an kali Grogol jauh lebih lebar dari kondisi sekarang; kayaknya hampir 2x lipat lah. Namun dengan pinggiran kali yang belum terbeton dengan baik, sehingga jika hujan lebat sering terjadi arus air deras serta pendangkalan akibat longsornya tanah dari dinding kali ataupun sampah yang menggunung, sehingga justru membuat getek tadi meliburkan pelayanannya.

Foto Dokpri

Mendekati tahun 1996-1997, pemda DKI saat itu merapikan kali Grogol karena akan membuat jalan layang non-tol (Proyek ini sempat menelan 3 korban, karena Jalan Layang seberat 600 ton ini sempat ambruk karena tiang penyangga dilepas terlalu cepat sebelum waktunya (Kompas 23/03/1996; Konstruksi - April 1996:24)).

Kondisi kali yang menyempit, serta tidak memungkinkan karena masih banyaknya sampah dialiran kali (sungai) menyulitkan getek untuk bergerak normal. selain itu, bemo yang biasanya menurunkan penumpang hanya di Pangkalan, mulai menurunkan penumpang di perempatan Grogol, sehingga penumpang tidak lagi perlu berjalan jauh menuju Terminal Bis dan secara tidak langsung juga mulai tidak melewati lokasi getek yang biasa digunakan untuk memotong jalan.

Tidak lama setelah merebaknya gelombang Reformasi, hilang sudah alat transportasi sungai khas DKI ini. Saya masih ingat betul, dahulu ketika masih SMA saya membayar 100 rupiah sekali menyebrang, dan sampai menghilangnya getek saya membayar 500 rupiah per trip.

===

Foto Dokpri

Kembali entah bagaimana prosesnya, tepat 1 minggu setelah mimpi tadi...Saya mendapati lokasi yang tidak jauh dari tempat tinggal kami justru di sungai (kali)nya getek masih beroperasi secara rutin. 

Memang lokasi tadi agak ditengah, ke kiri dan kanannya agak jauh untuk menemui jembatan, sehingga penduduk yang tinggal di seberang yang merupakan wilayah perumahan (tempat kami juga tinggal) akan dimudahkan untuk mencapai lokasi yang ramai dengan jajanan makanan di seberang yang merupakan lokasi pabrik dan bisnis, sehingga banyak sekali pedagang berbagai jenis makanan terutama di sore sampai malam hari.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline