Lihat ke Halaman Asli

Rudi Yahya

Wiraswasta

Antara Janji, Realita dan Tuntutan Prematur

Diperbarui: 30 September 2025   21:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik


Di awal kontestasi politik Purbalingga, nama Fahmi Muhammad Hanif muncul sebagai figur muda yang membawa harapan baru. Diusung oleh koalisi partai yang cukup solid --- PKS, Gerindra, Golkar, serta beberapa partai kecil lainnya --- Fahmi tampil sebagai simbol perubahan.
Yang menarik, pada awalnya Fahmi bahkan rela menempatkan dirinya bukan sebagai calon utama, melainkan sebagai calon wakil bupati mendampingi Tiwi, petahana dari PDI Perjuangan. Sebuah langkah kompromi politik yang menunjukkan kedewasaan dan keluwesan strategi. Namun, perjalanan tak selalu mulus.
Dinamika politik di internal koalisi dan inkonsistensi sikap dari beberapa pihak membuat konfigurasi awal runtuh. Fahmi pun akhirnya memilih maju sendiri sebagai calon bupati, berpasangan dengan Dimas dari Partai Gerindra. Sebuah duet yang akhirnya memperoleh dukungan resmi dari PKS, Gerindra, Golkar, dan partai-partai lainnya.
Namun, tak lama setelah deklarasi, publik dikejutkan dengan manuver diam-diam salah satu pimpinan partai pengusung yang membelot. Suasana politik pun memanas. Meski begitu, dukungan akar rumput tak goyah. Justru pada hari pencoblosan, suara rakyat tetap mengalir deras untuk Fahmi--Dimas, membuktikan bahwa kekuatan sejati bukan di balik meja, tapi di hati masyarakat.
Jargon "Alus Dalane, Kepenak Ngodene" menjadi semacam janji moral yang melekat di setiap ruang dialog warga. Harapan besar disematkan. Namun, ketika baru 7 bulan menjabat, sekelompok orang mulai turun ke jalan. Demo pun digelar. Mereka menuntut realisasi janji.
Tapi tunggu dulu---perlu dipahami bahwa masa jabatan Fahmi saat ini masih dalam tahap transisi dari pemerintahan sebelumnya. Semua kebijakan yang dijalankan hingga akhir 2025 masih merupakan warisan program Bupati sebelumnya. Dalam istilah sederhana, ini seperti menagih utang pada orang yang belum waktunya membayar. Salah alamat.
Lebih jauh, di bawah kepemimpinan Fahmi, anggaran infrastruktur yang sebelumnya hanya belasan miliar kini melonjak menjadi ratusan miliar --- sebuah capaian luar biasa yang bahkan melampaui target. Maka muncul pertanyaan yang mengusik logika: kenapa justru saat pembangunan sedang dipercepat, malah didemo?
Inilah yang bisa disebut sebagai "demo salah sasaran" --- sebuah teatrikal politik yang lebih mementaskan kegaduhan daripada substansi. Ketika masyarakat menuntut terlalu dini tanpa memahami proses birokrasi dan anggaran, maka yang terjadi bukan kontrol publik, melainkan keributan prematur yang mencederai akal sehat.
Bupati Fahmi sedang bekerja. Biarkan waktu yang menjawab, bukan prasangka.
-semar purbalingga-

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline