Lihat ke Halaman Asli

Rublikpol

Lembaga Diskusi Kampus

Demokrasi di Balik Baleho

Diperbarui: 13 September 2025   09:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Kompas.com

Setiap musim politik, rakyat kembali disuguhi panggung besar penuh janji dan slogan. Baliho, iklan, hingga media sosial dipenuhi kata-kata manis tentang perubahan, kemajuan, dan kesejahteraan. Namun, di balik gegap gempita itu, pertanyaan sederhana kembali muncul: apakah janji-janji itu akan menjadi kenyataan, atau hanya sekadar alat untuk meraih suara?

Fenomena politik jelang Pilkada Serentak 2024 menunjukkan bahwa praktik kampanye masih lebih menekankan pencitraan daripada substansi. Survei Indikator Politik Indonesia pada Juli 2024 misalnya, mencatat bahwa lebih dari 60 persen pemilih menentukan pilihan karena faktor popularitas, bukan karena rekam jejak atau program. Ini mengindikasikan adanya jurang antara kebutuhan rakyat atas program nyata dengan strategi partai yang lebih mengedepankan figur.

Dalam politik demokratis, pencitraan bukanlah hal yang salah. Menurut Antonio Gramsci, hegemoni politik memang dibangun melalui persetujuan sosial yang sering kali dimediasi oleh simbol dan wacana. Akan tetapi, demokrasi substantif seharusnya tidak berhenti pada simbol, melainkan diwujudkan melalui kebijakan konkret yang bisa dirasakan masyarakat. Indikator keberhasilan politik bukan pada berapa banyak baliho terpasang, melainkan pada sejauh mana janji itu diwujudkan dalam tata kelola pemerintahan.

Kita bisa melihat contoh dari beberapa daerah yang sebelumnya sukses memilih pemimpin berbasis popularitas, tetapi gagal dalam implementasi kebijakan. Misalnya, kasus proyek infrastruktur mangkrak di beberapa kota besar, yang semula dijanjikan selesai dalam dua tahun, justru terbengkalai karena tidak ada perencanaan matang. Sebaliknya, di sejumlah daerah dengan pemimpin yang berangkat dari program berbasis kebutuhan warga---seperti tata kelola sampah di Surabaya---terlihat bahwa konsistensi kebijakan lebih memberikan manfaat jangka panjang.

Politik pencitraan hanya memberi kemenangan sesaat. Tanpa rekam jejak dan program nyata, pemimpin terpilih akan mudah kehilangan legitimasi. Seperti dikatakan Francis Fukuyama, "institusi yang kuat, bukan individu karismatik, yang menjadi dasar negara modern." Maka, menjelang Pilkada kali ini, penting bagi rakyat untuk lebih kritis menilai bukan hanya siapa yang berbicara di panggung, tetapi juga bagaimana rekam jejak dan realisasi kebijakan sebelumnya.

Rakyat seharusnya tidak lagi menjadi penonton pasif dalam drama politik lima tahunan. Kewaspadaan dalam memilih adalah kunci agar demokrasi tidak sekadar berhenti pada janji. Pada akhirnya, politik bukan tentang siapa yang paling pandai berjanji, melainkan siapa yang benar-benar mampu bekerja untuk rakyat. Pesan singkat: Jangan biarkan suara Anda sekadar jadi angka. Gunakan hak pilih dengan cerdas, karena satu suara mampu menentukan arah bangsa.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline