Sekolah Swasta Terlunta, Sekolah Negeri Overcrowded: Kemana Arah Kebijakan Pendidikan Kita?
Oleh: Ronald Sumual Pasir
Fenomena terkini dunia pendidikan Indonesia memperlihatkan gejala yang cukup memprihatinkan: sekolah-sekolah swasta mulai "megap-megap", kehilangan murid secara drastis. Di sisi lain, sekolah-sekolah negeri malah terpaksa menerima siswa melebihi kapasitas ruang belajar ideal. Jumlah siswa dalam satu kelas yang sebelumnya maksimal 36, kini membengkak hingga 50 orang. Kondisi ini tidak hanya menyalahi prinsip pendidikan berkualitas, tapi juga membahayakan keselamatan dan efektivitas pembelajaran.
Overcrowded dan Kematian Kualitas
Mari kita mulai dari angka. UNESCO menyebut bahwa idealnya jumlah siswa dalam satu kelas maksimal adalah 30--35 orang agar interaksi guru dan murid tetap efektif. Di Indonesia, angka ideal yang dianjurkan adalah 36 siswa per kelas (Permendikbud No. 24/2007). Tapi kini, karena keterbatasan ruang dan ledakan pendaftar, sekolah negeri terpaksa menampung 50 siswa per kelas. Ini bukan hanya soal kursi dan papan tulis, tetapi soal nyawa kualitas pendidikan yang kian sesak napas.
Dalam kondisi seperti ini, pengawasan guru makin longgar, pendidikan karakter menjadi retorika kosong, dan individualisasi pembelajaran mustahil dilakukan. Bahkan, potensi bullying, stress akademik, hingga kecelakaan kecil di ruang kelas semakin meningkat.
Mengapa Sekolah Swasta Ditinggalkan?
Fenomena ditinggalkannya sekolah swasta oleh peserta didik tidak lepas dari dua sebab utama:
1.Gratis dan Prestise Sekolah Negeri
Pemerintah menggratiskan biaya pendidikan dasar dan menengah melalui BOS (Bantuan Operasional Sekolah) dan kebijakan PPDB yang mendorong pemerataan. Di tengah krisis ekonomi, orang tua tentu lebih memilih sekolah negeri yang dianggap lebih murah dan prestisius.
2.Minimnya Dukungan untuk Sekolah Swasta
Banyak sekolah swasta tidak mendapatkan BOS, apalagi bantuan infrastruktur. Mereka harus bersaing bebas di tengah ketimpangan fasilitas, status, dan dukungan negara. Padahal menurut UU Sisdiknas No. 20/2003 Pasal 54, pendidikan swasta merupakan bagian integral dari sistem pendidikan nasional dan berhak mendapatkan perlindungan dan bantuan pemerintah. Tapi fakta di lapangan berkata sebaliknya.
Pemerintah Tak Punya Grand Strategy Pembinaan Sekolah Swasta?
Jika kita jujur, kebijakan pendidikan kita tampaknya tidak punya grand design yang jelas untuk membina dan merawat sekolah swasta. Semuanya seperti dibiarkan berjalan berdasarkan hukum rimba: siapa yang kuat bertahan, siapa yang lemah gulung tikar.
Bandingkan dengan negara-negara maju seperti Finlandia atau Jepang, di mana sekolah swasta diberi ruang khusus untuk inovasi, identitas pendidikan, dan bahkan dilibatkan dalam peta pendidikan nasional. Di Indonesia? Swasta seperti anak tiri yang dipersilakan masuk jika mampu bayar sendiri semua tagihan.