Lihat ke Halaman Asli

rohmad

Essada

Dari Tumpukan Rosok Menuju Jas Putih

Diperbarui: 29 Juli 2025   17:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar ilustrasi dibuat oleh Canva desain

Dari Tumpukan Rosok Menuju Jas Putih

 Perjalanan Hidup Sang Ayah yang Mengantarkan Anaknya Menjadi Dokter

Di antara tumpukan besi tua, botol plastik, dan kardus bekas yang berserakan di pinggiran pasar dan jalanan kota kecil di Jawa Tengah, seorang lelaki tua mendorong gerobaknya perlahan. Namanya Pak Jumin, ia sudah lama menduda karena istrinya meninggal waktu melahirkan anak pertamanya. Sebagai seorang pencari rosok yang dalam diamnya menyimpan cita-cita besar untuk anak semata wayangnya.

Pak Jumin bukan siapa-siapa dalam mata dunia. Pekerjaannya memulung sampah dan menjualnya ke pengepul tak pernah dianggap "profesi" oleh kebanyakan orang. Namun di balik tangan kasarnya yang kapalan karena gerobak dan logam tajam, tersembunyi tekad yang tak bisa diukur dengan harta: ingin menyekolahkan anaknya sampai jadi dokter.

Mimpi yang Tak Pernah Dihapus Waktu

Anaknya, Siti Nurhasanah, sejak kecil sudah menyaksikan ayahnya berangkat pagi dan pulang petang hanya dengan satu atau dua karung rosok. Tapi di balik kesederhanaan itu, ada satu hal yang tak pernah absen di rumah: semangat belajar.

Pak Jumin tidak tamat SD, namun setiap malam ia duduk menemani putrinya mengerjakan PR. "Bapak cuma bisa bantu jagani lampu, yo nduk! ," ujarnya sambil tersenyum. Kadang, hanya itu yang bisa ia lakukan menjaga lampu teplok tetap menyala, agar sang anak bisa terus belajar.

Tak jarang pula ia menyisihkan uang recehan dari hasil jual rosok untuk membeli buku bekas di pasar loak. "Buku ini bagus, kata yang jual. Tentang tubuh manusia," katanya suatu malam, menyerahkan buku anatomi setebal bata yang telah compang-camping. Nurhasanah menerimanya dengan mata berbinar." Nggo sinau yo nduk.... Bapak nglumpluke sitik Boko sitik.... Mugo iso manfaat... Nduk! "Timpal pak Jimin. 

Perjuangan Bertahun-Tahun

Ketika Nurhasanah diterima di SMA unggulan dengan beasiswa, Pak Jumin tak pernah berhenti bekerja. Gerobaknya semakin berat, bukan hanya karena muatan, tapi karena harapan yang tumbuh di dalamnya. Ia mulai menabung lebih giat, bahkan bekerja sambilan menjadi buruh angkut di pasar setiap dini hari.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline