Lihat ke Halaman Asli

Berkaca Pada Refleksi Kisah Adam-Hawa

Diperbarui: 2 Oktober 2015   17:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hampir semua pemeluk "Agama Agama Langit" tentunya pernah membaca kisah Adam dan Hawa (Eva) dari kitab sucinya. Yang dimaksud Agama Langit adalah agama yang sepakat meriwayatkan bahwa asal usul manusia pertama adalah Adam dan Hawa (Eva). Baik Taurat, Injil Perjanjian Lama dan Baru, maupun Al Qur'an mengisahkan hal yang sama.

Bermula Adam dan Hawa setelah diciptakan hidup di "surga" yang amat menyenangkan. Segala keinginan terpenuhi. Sampai pada suatu kejadian berikut.

Ceritanya kurang lebih tentang Nabi Adam dan Hawa (Eva) terkena bujuk rayu iblis yang berupa ular untuk memakan buah larangan, buah khuldi (Islam), atau apel. Tuhan melarang Adam dan Hawa memakan buah itu dengan alasan yang tak diberikan, maka iblis justru mengarang cerita bahwa kalau Adam dan Hawa memakan buah khuldi, maka mereka akan panjang umur alias hidup kekal (laiknya Tuhan !) didalam surga. Dan Adam memakan buah itu, diikuti oleh Hawa!

Akibat kesalahan itu, kedua manusia pertama itu dihukum Tuhan dengan me"lempar"kan mereka ke bumi, keluar dari surga. Akibatnya keduanya beserta keturunannya harus berikhtiar dan berjuang untuk mendapatkan kesenangan. Kalau tadinya waktu hidup di surga semua didapatkan tanpa usaha, kini harus dengan segala perjuangan sebagai makhluk bumi.

Dan kita kita inilah, manusia, yang menanggung kesalahan moyang kita, Adam dan Hawa. Kita harus berjuang keras untuk bukan selalu untuk mencari kesenangan bahkan sekedar untuk bisa makan. Terkadang kita harus saling berkelahi memperebutkan sesuatu untuk kehidupan, bahkan sampai berdarah-darah, menyabung nyawa, berperang. Padahal kalau saja Adam dan Hawa tidak melanggar perintah Tuhan, kita tentu dengan amat bahagia masih hidup di surga dengan segala kesenangannya.

Terbersit renungan dalam pikiran saya (mungkin juga anda), bisakah kita menuntut Tuhan untuk "pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM)" yang dilakukan terhadap kita. Kita tak tahu menahu bahkan belum lahir, kok bisa-bisanya kita ikut teraniaya atas kesalahan moyang kita. Apakah Tuhan tak bisa sedikit "berdemokrasi"? Apakah Tuhan bisa diminta meratifikasi Pasal-Pasal Ketentuan Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hak Azasi Manusia? Kepada siapa lagi kita bisa menuntut keadilan dan kebenaran menurut versi kita, manusia?

Inilah refleksi yang muncul dalam pikiran kita tentang kesalahan orang tua yang anak cucunya "terpaksa" menerima akibatnya (hukuman) walau tidak melakukan kesalahan itu sendiri.

 

 

 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline