Lihat ke Halaman Asli

rizqiyah amaliyah mumtaz

Mahasiswa Universitas Airlangga

TikTok Shop Scroll, Click, Sesal Kemudian

Diperbarui: 4 Oktober 2025   20:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Seiring berkembangnya teknologi, gaya hidup masyarakat mulai berkembang keranah digital sebagai alat komunikasi dan juga menjadi alat bisnis yang aman dan fleksibel. Masyarakat dapat membeli dan membayar secara online, tidak perlu datang langsung ke toko, biasanya harga juga lebih terjangkau dibandingkan dengan toko fisik, dan banyak penawaran diskon. Bagi mereka yang telah merasakan manfaat belanja online, mereka akan cenderung kecanduan dalam belanja, karena setelah mencoba sekali, mereka akan cenderung merasa ingin terus belanja secara online. Sekitar 59,3% konsumen Indonesia sudah menggunakan e-commerce, dan angka ini diperkirakan akan terus meningkat ( Kemp, 2024 ). Dengan adanya hal tersebut lah, mulai timbul masalah-masalah yang mengkhawatirkan, salah satunya yaitu impulsive buying. Saat ini impulsive buying atau membeli tanpa terencana menjadi masalah utama yang akan saya bahas saat ini.

Impulsive buying menurut Utami adalah suatu bentuk pembelian yang terjadi ketika calon konsumen melihat suatu produk baik barang dan jasa, merek atau brand tertentu, dan kemudian memutuskan untuk membeli produk tersebut dikarenakan stimulus yang diperoleh dari toko tersebut (Lumintang, 2012). Menurut Rook (Mittal, Chawla, & Sondhi, 2016) berpendapat bahwa proses perilaku pembelian impulsif disebabkan oleh dorongan yang sifatnya tiba-tiba, bersifat kuat, serta terus-menerus dengan tujuan agar konsumen dapat membeli sesuatu dengan segera, atau saat itu juga. Akan tetapi disisi lain pola konsumsi juga dapat dipengaruhi oleh kesuksesan uang, kedudukan sosial, dan juga citra diri yang berhubungan dengan barang mewah atau tren tertentu.

 Budaya impulsive buying atau budaya konsumtif dari tahun ke tahun masih sulit sekali untuk dihindari, hal tersebut telah dinormalisasikan oleh masyarakat dan didukung dengan kemudahan akses. Apalagi dengan adanya media sosial seperti Tik Tok yang menampilkan gaya hidup mewah dan menampilkan promosi hidup, membuat masyarakat terpengaruh oleh perilaku konsumsi, apapun yang dilihat dan disukai, langsung dibeli tanpa berpikir panjang padahal hal tersebut sebenarnya tidak dibutuhkan. Dengan adanya strategi pemasaran di TikTok shop, seperti  melalui live streaming, diskon besar-besar-an, dan barang yang relevan, memicu keinginan mendadak seseorang dan mendorong untuk membeli barang tersebut.

 Sekarang aplikasi TikTok memiliki jumlah pengguna yang tidak sedikit, yakni lebih dari 102 juta dari jumlah total pengguna sosial media di Indonesia, menurut Katadata di tahun 2024 (dalam Anita et al., 2025). Menurut data dari Bankrate.com, menyatakan hampir separuh (48%) pengguna media sosial mengatakan bahwa mereka secara impulsif membeli produk yang mereka lihat di media sosial, dan 68% pembeli tersebut mengatakan bahwa mereka kemudian menyesali setidaknya satu pembelian mereka. Paparan dari konten pemasaran di media sosial signifikan mempengaruhi prefensi konsumsi dan gaya hidup masyarakat. Terutama fenomena fear of missing out (FOMO) dan fear of other people's opinion (FOPO) menjadi pendorong utama perilaku konsumtif. Berdasarkan angka-angka dari laporan firma analisis perdagangan video Tabcut.com, sesuai dengan yang dilaporkan oleh The Low Down Momentum Works, mencantumkan bahwa nilai penjualan kotor (GMV) TikTok Shop diperkirakan mencapai $32,6 miliar pada tahun 2024, setara dengan sekitar Rp528,6 triliun. Indonesia muncul sebagai penyumbang terbesar kedua platform tersebut secara global, setelah Amerika Serikat.

 Budaya konsumtif sungguh sangat meresahkan untuk kita semua, dampak negative yang dapat kita lihat secara jelas sekarang, yaitu dengan adanya budaya kosumtif, banyak sekali masyarakat yang terjerat pinjol di karenakan gengsi dan juga penumpukan barang yang tidak terpakai. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Bankrate (Agustus 2023), impulsive buying dapat menumpuk dengan cepat. Selama 12 bulan terakhir, orang Amerika yang secara impulsif membeli barang yang mereka lihat di media sosial menghabiskan rata-rata $754. Sekitar seperempat (26%) pembeli impulsif menghabiskan setidaknya $500; Pria dan dewasa muda cenderung menghabiskan lebih banyak uang untuk pembelian impulsif mereka karena media sosial pembelian impulsif pria menghabiskan rata-rata $999 untuk pembelian mereka selama setahun terakhir, hampir dua kali lipat dibandingkan wanita, yang menghabiskan rata-rata $518.

 Impulsive buying memberikan kenikmatan instan, otak melepaskan dopamain yang membuat kita merasa senang dan puas. Tetapi itu hanya sesaat, setelah itu kita akan mulai merasa menyesal karena pengeluaran yang tidak terencana mengganggu keuangan pribadi. Namun, impulsive buying tidak hanya selalu membawa dampak negative saja. Dalam kontenteks tertentu, pembelian impilsif bisa menjadi cara untuk memanjakan diri atau memberikan hadiah spontan untuk diri sendiri sebagai bentuk self-reward yang meningkatkan kebahagian. Kunci utamanya adalah masih tahu batasan dengan kesadaran dan pengendalian diri agar tidak berlebihan dan merugikan kondisi finansinal. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui dan memahami apa itu impulsive buying, dampak yang mungkin terjadi, dan cara mengatasinya.

Sebagai konsumen yang cerdas, perlu membangun kesadaran untuk menahan diri dan berpikir dua kali sebelum membeli. Misalnya, dengan menerapkan metode "cooling down period" yaitu memberi jeda waktu selama 24 jam sebelum memutuskan membeli barang yang tidak terencana. Selain itu, dengan mengelola anggaran belanja dengan disiplin, dengan cara tersebut , pembelian akan terencana dan sesuai kebutuhan, membantu menghindari pembelian impulsive berlebihan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline