Di sebuah sudut kota Jakarta Timur yang ramai, terdapat warung sederhana yang selalu dipenuhi tawa dan aroma menggoda. Warung itu bernama Sego Goreng Suroboyo. Di antara pengunjung yang rutin datang, ada satu sosok yang paling mencolok: pria bertubuh tegap dengan jersey Persebaya dan peci hitam bertuliskan "Cak Ri". Setiap malam, ia selalu hadir, membawa suasana yang hangat dan penuh canda tawa.
Cak Ri bukan hanya pelanggan tetap, tapi juga magnet bagi siapa saja yang ingin mengobrol santai. Sambil lesehan di atas karpet merah sederhana, ia menyantap sepiring sego goreng pedas lengkap dengan telur ceplok dan segelas es teh manis. Suaranya keras, tawanya lepas, dan cerita-ceritanya selalu menarik perhatian anak-anak muda yang ikut nimbrung.
"Sego goreng iki bukan sembarang nasi goreng," ujarnya suatu malam, sambil menunjuk makanannya. "Iki rasane kayak kenangan jaman mbiyen, waktu masih kerja jadi kernet angkot." Anak-anak yang duduk bersamanya langsung tertawa, membayangkan sosok Cak Ri berdesak-desakan di angkot sambil teriak "Dua maneh, Mas!".
Setiap malam, obrolan mereka bergulir tanpa arah tapi selalu bermakna. Dari cerita sepak bola, pengalaman hidup, sampai soal cinta masa muda. Meski hanya warung kaki lima, tempat itu seperti ruang nostalgia dan pembelajaran tak tertulis.
Warung itu sendiri dikelola oleh Cak Hud, seorang pemuda asal Surabaya yang dikenal dengan racikan bumbu khasnya. Ia sengaja menyematkan logo besar di dinding sebagai lambang kebanggaan. "Supaya orang tahu, di sini bukan hanya makan, tapi juga mendapat cerita hidup," katanya sambil tertawa.
Cak Ri pun menjadi bagian penting dari atmosfer itu. Banyak pemuda yang awalnya cuma mampir makan, akhirnya betah duduk berjam-jam karena kehangatan suasana. Mereka menyebut tempat itu sebagai "kampus kehidupan".
Suatu malam, salah satu pemuda bertanya, "Cak, kok njenengan ora buka warung dewe wae? Kan iso rame." Tapi Cak Ri hanya tersenyum. "Rek, aku seneng urip tenang. Nek warung iki rame, iku wis bahagiaku. Kadang kita nggak perlu punya segalanya, cukup berada di tempat yang kita cinta."
Jawaban itu membuat semua terdiam. Di tengah riuh kota yang terus bergerak, warung Sego Goreng Suroboyo menjadi oase sederhana. Tempat di mana makanan menyatukan cerita, dan tawa menjadi pengikat antar generasi.
Malam itu, di bawah temaram lampu warung dan diiringi aroma nasi goreng yang menggoda, tawa kembali pecah. Dan Cak Ri, dengan es teh di tangan dan mulut penuh nasi, kembali melanjutkan kisahnya, kisah yang akan selalu dikenang setiap orang yang pernah duduk lesehan bersamanya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI