Matahari pagi di kota kecil itu terasa hangat, tetapi tidak bagi Ana. Gadis berusia tujuh belas tahun itu hanya bisa duduk termenung di pojok meja makan, memainkan sendok yang bahkan tak menyentuh bubur di mangkuknya. Di depan matanya, sang ibu sedang sibuk mencuci piring dengan pandangan kosong, seolah pikirannya melayang ke tempat lain. Sementara itu, suara keras dari ruang tamu memecah keheningan pagi. Ayah tiri Ana sedang menonton televisi dengan suara yang terlalu kencang, seperti biasa.
"Ana, bangunin adikmu. Jangan terlambat sekolah," suara ibunya terdengar lemah, hampir tak berdaya.
Ana mengangguk pelan dan berdiri, berjalan menuju kamar adiknya yang masih tertidur. Adiknya yang baru berusia delapan tahun itu adalah satu-satunya alasan Ana bertahan sejauh ini. Ia tak ingin adiknya mengalami hal yang lebih buruk dari apa yang sudah ia alami.
Di sekolah, hidup Ana tak jauh lebih baik. Teman-temannya sering mengolok-oloknya hanya karena ia pendiam dan selalu menyendiri. "Eh, itu si Ana, si aneh! Hati-hati, nanti dia tiba-tiba nangis lagi," salah satu teman sekelasnya berbisik keras, memastikan Ana mendengar ejekannya.
Ana menunduk, menggigit bibirnya kuat-kuat agar tidak menangis. Ia tahu, menangis hanya akan membuatnya semakin diolok-olok. Ia berjalan cepat menuju kelasnya, berharap waktu sekolah segera berlalu.
Namun, di tengah semua kekacauan itu, ada satu orang yang membuatnya merasa sedikit lebih baik---Ria. Ria adalah teman sebangkunya sejak kelas satu SMA. Meski tak banyak bicara, Ria selalu ada untuk mendengarkan.
"Ana, kamu nggak apa-apa?" tanya Ria saat melihat wajah Ana yang pucat.
Ana menggeleng, mencoba tersenyum meski matanya masih basah. "Aku nggak apa-apa, kok," jawabnya pelan.
Tetapi Ria tahu Ana berbohong. Ia tahu ada sesuatu yang berat yang Ana simpan sendiri, tetapi ia tidak pernah memaksa Ana untuk bercerita.
Di rumah, keadaan semakin memburuk. Ayah tirinya semakin sering mabuk-mabukan, membentak ibunya tanpa alasan, bahkan tak jarang memecahkan barang-barang di rumah. Ana hanya bisa memeluk adiknya di kamar, menutup telinga mereka dengan bantal agar tidak mendengar teriakan dari ruang tamu.
"Kenapa hidup kita seperti ini, Kak?" tanya adiknya suatu malam, dengan suara yang bergetar.