Lihat ke Halaman Asli

Divisi Riset RKIM UB

Riset dan Karya Ilmiah Mahasiswa Universitas Brawijaya

Giant Sea Wall: Solusi atau Komplikasi?

Diperbarui: 30 Agustus 2025   06:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: Unsplash

Penulis: Naila Shifa Ayn Zahra dan Anindhita Faiza Aulia

Wacana pembangunan Giant Sea Wall atau tanggul laut raksasa kembali menjadi sorotan publik setelah Presiden Prabowo Subianto mengusulkan proyek kolosal ini sebagai salah satu strategi utama menghadapi ancaman lingkungan di pesisir utara Jawa (Pantura). Proyek yang direncanakan membentang dari Banten hingga Gresik ini memiliki panjang sekitar 500 km. Tahap awal proyek akan difokuskan di wilayah Teluk Jakarta dan diproyeksikan rampung dalam 8--10 tahun, sementara keseluruhan proyek diprediksi akan berlangsung selama 15--20 tahun (Presiden RI, 2025). Dalam realisasi proyek ini, Prabowo menyatakan bahwa pemerintah akan segera membentuk Badan Otorita Tanggul Laut Pantai Utara Jawa, yakni lembaga khusus yang akan bertugas mengelola dan mempercepat pelaksanaan proyek strategis nasional tersebut (Aulia, 2025). Proyek ini secara resmi disebut sebagai langkah strategis untuk melindungi kawasan pesisir dari ancaman banjir rob, penurunan muka tanah (subsiden), dan naiknya permukaan laut akibat krisis iklim global (Ministry of Economic Affairs, 2014, dalam Surya et al., 2019).

Namun, dibalik besarnya ambisi, muncul pertanyaan penting: Apakah Giant Sea Wall benar-benar solusi jangka panjang, atau hanya tambal sulam terhadap kerusakan lingkungan yang selama ini diabaikan?

Secara teknis, Giant Sea Wall adalah struktur tanggul laut besar yang bertujuan menjadi benteng terakhir melawan tekanan air laut ke wilayah daratan. Konsep ini bukan hal baru. Gagasan pertamanya muncul di era Presiden Soeharto pada tahun 1995, kemudian dimunculkan kembali oleh Presiden Jokowi pada proyek NCICD (National Capital Integrated Coastal Development) di Jakarta (Kallo, 2025). Kini, di era pemerintahan Prabowo, proyek ini diperluas secara masif meliputi hampir seluruh pesisir utara Jawa. Selain tanggul, proyek ini juga akan mencakup reklamasi dan pembangunan kawasan baru, yang dianggap bisa mendorong pertumbuhan ekonomi melalui penciptaan ruang hidup dan kawasan industri baru yang lebih aman dari bencana iklim. 

Dalam pelaksanaan proyek sebesar ini, pemerintah menyusun skema pembiayaan multi-sumber, mulai dari APBN dan APBD. Untuk Jakarta sendiri akan mendapat bagian sepanjang 19 kilometer dalam proyek pembangunan tanggul laut. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, melalui Pramono, menyatakan akan mengalokasikan anggaran sekitar Rp5 triliun per tahun dari APBD untuk pembangunan di wilayah laut utara Jakarta. Anggaran ini akan dikombinasikan dengan dana dari pemerintah pusat. Menurut Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, biaya pembangunan tanggul laut di Teluk Jakarta akan dibagi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Secara keseluruhan, nilai proyek ini diperkirakan mencapai 80 miliar dolar AS atau sekitar Rp1,29 kuadriliun (Nugraheny & Arief, 2025). Pelibatan berbagai sumber pendanaan, baik dari APBN maupun APBD, mencerminkan keseriusan pemerintah dalam mewujudkan proyek tanggul laut sebagai upaya strategis menghadapi  ancaman banjir rob, penurunan muka tanah (subsiden), dan naiknya permukaan laut akibat krisis iklim global. Namun, mengingat besarnya anggaran yang dialokasikan, penting bagi pemerintah untuk memastikan adanya transparansi, akuntabilitas, serta pengawasan yang ketat dalam setiap tahap pelaksanaannya demi menjamin efektivitas dan keberlanjutan Giant Sea Wall.

Tujuan utama proyek ini memang terdengar visioner. Giant Sea Wall diharapkan dapat mencegah banjir rob yang semakin rutin melanda wilayah pesisir utara Jawa. Pembangunan tahap awal proyek ini akan difokuskan di daerah Jakarta, Semarang, Pekalongan, dan Brebes (Aulia, 2025). Selain itu, Giant Sea Wall digadang-gadang mampu melindungi infrastruktur strategis seperti pelabuhan, jalur rel, kawasan industri, hingga permukiman warga yang selama ini kerap tergenang. Di sisi lain, reklamasi dan pengembangan wilayah pesisir baru juga dianggap sebagai peluang untuk menambah ruang ekonomi yang tahan terhadap ancaman iklim.

Namun, kritik tajam datang dari para ahli lingkungan, tata ruang, hingga aktivis masyarakat pesisir. Banyak yang menilai bahwa pembangunan tanggul laut tidak menyentuh akar masalah utama eksploitasi air tanah yang tidak terkendali. Penurunan tanah akibat eksploitasi air tanah memperburuk situasi ini (Putri et al., 2025). Selama pengambilan air tanah terus berlangsung secara masif, maka permukaan tanah akan terus turun, dan seberapa tinggi pun tanggul dibangun, tetap akan kalah oleh alam. Selain itu, proyek ini disebut berisiko tinggi terhadap keseimbangan ekosistem laut. Perubahan arus laut, potensi abrasi, rusaknya habitat biota laut, hingga hilangnya sumber penghidupan bagi para nelayan tradisional menjadi isu serius yang belum mendapat perhatian proporsional dalam narasi pembangunan pemerintah.

Tak kalah penting adalah aspek sosial dan budaya yang sering kali luput dari rencana besar infrastruktur. Masyarakat pesisir bukan hanya sekadar angka dalam data penerima manfaat, tetapi memiliki kehidupan dan identitas yang terikat dengan laut. Menurut Pinontoan dan Wahid (2020), laut bukan hanya sekedar wilayah geografis bagi masyarakat pesisir, tetapi juga sebagai simbol dan identitas budaya dan sosial yang telah diwariskan lintas generasi. Pembangunan fisik tanpa pendekatan sosial yang partisipatif justru berpotensi memicu konflik lahan, penggusuran, hingga krisis kepercayaan terhadap pemerintah. Oleh karena itu, pendekatan pembangunan inklusif harus dikedepankan. Masyarakat lokal harus dilibatkan sejak tahap perencanaan, bukan sekadar dilibatkan di akhir ketika segala sesuatu sudah diputuskan.

Proyek serupa dengan Giant Sea Wall dapat dilihat dari pembangunan Maeslantkering di Belanda dan Thames Barrier di Inggris. Maeslantkering merupakan bendungan pengendali banjir yang dilengkapi dengan dua gerbang raksasa. Pelindung utama kota Rotterdam ini telah beroperasi sejak tahun 1997 dan hingga kini mampu melindungi lebih dari satu juta penduduk (Cahyana, 2020). Apabila permukaan air laut mengalami kenaikan, gerbang tersebut akan tertutup secara otomatis, sehingga mencegah banjir di wilayah Rotterdam. Sementara itu, Thames Barrier berfungsi sebagai gerbang penahan banjir akibat gelombang pasang ekstrem di Sungai Thames. Konstruksi Thames Barrier dirancang secara dinamis, dengan sistem gerbang yang dapat terbuka dan tertutup menyesuaikan kondisi debit air laut (Inglaterra, 2018).

Kedua proyek tersebut dapat dijadikan acuan dalam pengembangan Giant Sea Wall di Indonesia. Aspek yang perlu dipertimbangkan secara mendalam mencakup urgensi kebutuhan nasional, kelayakan teknis, dan perencanaan anggaran. Terutama dalam hal pembiayaan, proyek infrastruktur skala besar ini dipastikan akan membutuhkan anggaran yang sangat besar, sebagaimana juga menjadi perhatian dalam pembangunan Maeslantkering. Kecanggihan teknologi sistem komputer yang digunakan pada Maeslantkering dan Thames Barrier dapat diadaptasi untuk meningkatkan efektivitas Giant Sea Wall (Cahyana, 2020). Oleh karena itu, pelibatan para ahli dari berbagai bidang sangat penting untuk memastikan bahwa proyek ini mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk dampak terhadap kehidupan sosial masyarakat dan kelestarian lingkungan.

Dari sudut pandang akademik, proyek Giant Sea Wall juga membuka ruang besar bagi riset multidisipliner. Di bidang teknik sipil dan kelautan, penelitian dapat difokuskan pada efektivitas desain tanggul, dampak sedimentasi, hingga rekayasa struktur yang adaptif terhadap perubahan iklim. Di sisi lingkungan, riset lingkungan hidup (AMDAL) menjadi kunci untuk menakar sejauh mana proyek ini akan mempengaruhi biodiversitas laut dan keseimbangan ekologis pesisir. Dalam aspek sosial dan ekonomi, studi dapat menggali dampak pembangunan terhadap penghidupan masyarakat lokal, relokasi sosial, serta dinamika ekonomi dalam pembangunan Giant Sea Wall ini dapat menumbuhkan berbagai lapangan kerja baru bagi masyarakat setempat, dengan catatan upah yang mereka harus lebih kompetitif (Zulham, 2014). Tak kalah penting, pendekatan kebijakan publik dan tata kelola proyek juga perlu dikaji secara kritis: Apakah pembentukan Badan Otorita Khusus benar-benar akan mempercepat pelaksanaan, atau justru menciptakan tumpang tindih baru?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline