Lihat ke Halaman Asli

Cerpen | Mudik Tak Mudik

Diperbarui: 17 April 2019   23:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber ilustrasi : pixabay

Tiga hari lagi lebaran. Rumah benar-benar kacau. Kardus, bungkus kemplang, tas jinjing dan koper besar menghiasi ruang tamu yang sempit. Begitupun wajah istriku dan anak-anak terlihat sumringah. Mereka seperti ingin hari ini cepat berlalu. Besok sore tinggal duduk manis di dalam bis menikmati hembusan angin dan pemandangan pinggir jalan yang saling berkejaran ke huluan.

"Semua sudah siap. Tinggal besok pagi mengambil pesanan pempek di warung Cik Romlah." Tawa istriku berderai.

Kami memang sudah hampir tiga lebaran tak mudik ke rumah mertua. Alasannya klise. Selain seluruh sanak saudara dari pihakku berdomisili di Palembang, masalah ongkos dan segala kebutuhan di perjalanan maupun di kampung istriku, menjadi kendala. Ya, maklum saja, aku hanya seorang penjual ikan laut di lapak pasar pagi. 

"Hahaha, hatimu pasti sangat senang," timpalku sambil merapikan buku-buku yang berserakan di meja. Meskipun lebaran tahun ini kami mudik, rumah harus tetap rapi. Panganan sudah disiapkan lima toples, juga dua botol sirop markisa.

Aku sejenak membayangkan betapa beratnya perjuangan kami meluluskan niat mudik ini. Keuntungan dari berjualan ikan, selalu disisihkan sebagian oleh istriku untuk ditabung. Hal tersebut dia lakukan setelah keinginannya mudik mendesak-desak dada sembilan bulan lalu. Dia kangen berat kepada ibunya, sekalian ingin berziarah ke makam mendiang ayahnya. 

Itulah yang membuat kami ekstra mengencangkan ikat pinggang. Tak ada lagi jalan-jalan ke mall atau kebun binatang. Tak ada lagi uang jajan untuk anak-anak di sekolah. Istriku sengaja memberikan mereka bontot berisi pempek atau makanan gorengan lainnya, plus botol plastik berisi air minum. 

Ya, rasanya senang juga melihat wajah istriku yang cerah. Anak-anak pun girang bukan main membayangkan mandi-mandi di sungai berair jernih di belakang rumah neneknya. Belum lagi kegiatan memancing di kolam. Belum lagi berpelesir naik beca bermotor bersama anak-anak kampung sambil bersenjatakan senapan air. Ya, ya. Empat tahun lalu kami sempat mudik, dan dua anakku itu sudah duduk di bangku esde.

***

Senja hari ketika aku dan istriku bersantai di depan televisi, tiba-tiba Mas Jai muncul di ambang pintu. Tak lazim wajahnya kusut dan matanya berkaca-kaca begitu. Biasanya dia selalu ceria. Dia suka berkelakar. Kami sesama penyewa lapak di pasar pagi, bahkan menyebutnya lumbung humor. Ajaib kalau suatu ketika wajahnya kusut. Apalagi dengan mata berkaca-kaca.

"Selamat sore, Mas Rul. Maaf mengganggu. Sudah hampir buka, nih." Mas Jai kelihatan kikuk. Istriku langsung memasang wajah sedikit masam. Dia mungkin menebak kedatangan Mas Jai ada apa-apanya, menjurus menyusahkan keluarga kami.

"Oh, tak apa-apa, Mas Jai. Bukanya masih lama kok. Mari silahkan duduk." Aku menggeser kursi ke dekatnya. Mas Jai menarik napas sebentar. Kemudian dia duduk sambil menundukkan kepala. "Ada apa, Mas? Kok susah amat kelihatannya?" lanjutku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline