Lihat ke Halaman Asli

Ria Mi

Menulis memotivasi diri

Cerpen | Mati Suri

Diperbarui: 26 April 2020   10:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam kian mencekam. Terasa lebih sunyi dari hari-hari biasanya. Terdengar suara orang memanggil-manggil Tuhan. Astagfirullah hal adzim. Suara itu terasa serempak, berdengung di telinga David. Tubuhnya tegap berpakaian serba putih. Menyusuri lorong-lorong gelap.

Tapi yang David heran kemana pun ia berjalan suara istigfar yang serempak itu selalu mengikuti. Serasa seperti barisan tentara yang siap memborgolnya dari belakang. Astagfirullah hal adzim. Astagfirullah hal adzim. Asragfirullah hal adzim. Suara itu semakin mengepungnya.

Ia tak kuasa. Menurutnya  ini suatu keanehan. "Mengapa aku berada di tengah padang pasir begini?" Bisik lirih David pada diri sendiri. Dilihatnya sekeliling. Banyak orang berpakaian serba putih. Sama seperti dirinya. Tapi kenapa tak menyapanya. Suasana seperti berduka. Ia juga takut hendak menyapa. Sebab wajah-wajah dihadapannya tak dikenalnya.

Ia mendapati sebuah tempat, untuk bersembunyi dari orang-orang yang dianggapnya asing. Ini seperti sebuah gua. Ya terasa lebih aman. Angin semilir membuat ia terkantuk dalam duduk lelahnya. Ketika dalam gua ia terkejut. Mengapa pakaiannya berubah. Tadi ketika bertama berjalan ia pakai pakaian putih-putih. Tapi kenapa sekarang pakaiannya compang camping.

Yang dirasakan nyawanya keluar dari tubuhnya. Lalu memandangi tubuhnya yang tergeletak di dalam gua. Pakaianya suwir-suwir. Kumal, dekil dan bau. Kenapa kau jadi begini. Dalam termangu keheranan ia tersentak dengan suara menggelegar di dalam gua.

"Hai kaukah yang menggelapkan dana bantuan untuk pakaian  anak-anak yatim yang sedianya diberikan pada panti asuhan dari perusahaan tempat kamu bekerja?"

Ia benar-benar kaget. "Siapa kau?" Suara David gemetar. "Hahahahaha jangan pura-pura tidak tahu ya! Bukankah aku selalu mengikutimu selama ini. Akulah tanganmu. Yang kau buat mencatat uang-uang dari teman-teman, bahkan dua ribu karyawanmu di berbagai anak cabang perusahaan itu, kau menguranginya. Kau bagi dua. Bahkan yang menyumbang banyak kau ambil lebih banyak lagi. Baru sisanya kau berikan pada panti asuhan." Suara itu menyudutkan David.

"Baik aku kembalikan nanti uangnya asal kau kembalikan aku ke tempat asalku." Pinta Davit memelas. "Benarkah?" Suara itu seakan minta kepastian David. David merogoh sakunya tak ada. Ia ingat bahwa uangnya sudah ia belikan mobil. Yang ia kendarai hingga menabrak pohon.

Dilihatnya tangannya tergeletak lagi. Ia merasa lega. Direbahkan lagi tubuhnya yang sudah tak berdaya. "Duh tubuhku, kenapa jadi tak berdaya begitu? Ruhnya bergumam sendiri. Ingin ia menolong, tapi rasanya ruhnya semakin ringan terangkat ke atas meninggalkan raganya.

Kasihan. David semakin kebingungan. Dalam tak berdayanya ruhnya seakan ada yang menekan, mencengkeramnya, lalu melemparkannya lagi di depan tubuhnya yang lunglai. Napasnya tersengal. David terbatuk batuk di dalam gua lagi.

Nyawanya masih bertanya-tanya mengapa dia di dalam gua ini. Yang dirasakan dingin, menggigil di dalam ruang apa ini. " Dimana aku?" David mengigau. Tangan gadis berpakaian putih-putih menariknya. "Oh kau sudah siuman mas?" "Dimana aku?" Tanya David. "Di rumah sakit, sudah sepuluh hari mas David koma di ruang ICU ini."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline