Saat kita masih duduk di bangku sekolah, mungkin kita mengingat bahwa kita pernah berpikir "kalau aku tanya, apakah aku dianggap bodoh ya?" atau "apakah guruku ini mau menjelaskan kembali materi yang tadi gak lengkap kusimak ya?" keraguan tersebut membuat kita menunda untuk bertanya, membuat kita terhambat. Keraguan ini lambat laun terakumulasi sehingga membentuk karakter kita saat dewasa yang berdampak dalam lanskap pekerjaan dan profesional kita. Kita menjadi ragu untuk mengemukakakan ide karena khawatir di-cap bodoh. Kita tidak sendirian. Rasa takut salah bukan hanya perkara pribadi. Ia adalah luka kolektif yang terbentuk perlahan dari pendidikan, budaya, dan ekspektasi sosial yang dihidupi sejak kecil.
Di Indonesia, secara khusus dalam sistem pendidikan yang ada, masih sering ditemukan bahwa kesalahan seringkali dianggap sebagai kegagalan dan bukan bagian dari proses belajar. Banyak cerita yang menggambarkan bahwa anak menjawab salah "dihukum" secara verbal: ditertawakan teman, dinilai kurang cerdas oleh guru, atau bahkan terkadang dipermalukan secara terbuka. Dari sinilah trauma kecil itu muncul. Trauma tersebut selanjutnya terakumulasi menjadi stigma bahwa membuat salah = menjadi malu.
Dalam teori pembelajaran, kesalahan adalah bagian esensial dari konstruksi pengetahuan. Jean Piaget menyebutkan bahwa anak-anak membangun pengetahuan melalui proses asimilasi dan akomodasi terhadap kesalahan dan pengalaman baru. Namun, dalam praktiknya, sekolah jarang memberikan ruang aman untuk salah. Konstruksi pendidikan kita masih mengedepankan pembelajaran menghafal, bukan bertanya. Menjawab benar, bukan menguji pemahaman.
Indonesia adalah kumpulan dari kolektivitas masyarakat. Hal ini terwujud nyata dalam harmoni dan wajah sosial masyarakat yang ada. Goffman dalam teorinya tentang "face" menunjukkan bahwa kita cenderung menjaga citra diri di hadapan orang lain untuk menghindari rasa malu atau aib. Dalam konteks ini, membuat kesalahan sama dengan "kehilangan muka" dan itu bisa lebih buruh daripada tidak mencoba sama sekali.
Alhasil, kita memilih diam daripada mencoba. Kita memilih untuk menyimpan ide daripada menyuarakannya. Kita enggan untuk menghadapi tanggapan yang tidak sesuai ekspektasi kita. Lambat laun, kita menjadi generasi yang perfeksionis dalam permukaan, tapi rapuh di dalam. Bukan karena kita bodoh. Tapi karena kita terlalu takut terlihat bodoh.
Dampak lanjutan dari takut salah adalah perfeksionisme---keinginan berlebihan untuk selalu benar, sempurna, dan bebas cela. Menurut penelitian Frost et al, perfeksionis maladaptif sering berakar dari standar internal yang tidak realistis, ditambah rasa takut terhadap penilaian orang lain. Di era media sosial, misalnya, kita dapat melihat banyak orang hanya membagikan kebahagiaan maupun keberhasilan. Kegagalan dan penolakan tidak punya ruang dalam media sosial. Kita terburu-buru untuk mempertontonkan capaian keberhasilan kita, tapi enggan untuk mempertontonkan kejatuhan kita. Dunia digital dan teknologi semakin memperparah situasi ini. Kesalahan kita pun bisa viral dalam hitungan menit. Dalam situasi seperti ini, siapa yang tidak gentar?
Saat ditelisik lebih dalam, seringkali rasa takut salah ini berkaitan dengan rasa takut tidak diterima. Kita ingin terlihat mampu, terlihat pintar, dan terlihat dapat diandalkan---karena itulah cara dunia mengukur nilai seseorang. Kondisi ini pun dikenal sebagai Conditional self-worth---dimana harga diri bergantung pada pencapaian atau validasi luar (Deci & Ryan, 1985). Ini juga penyebab banyak dari kita yang mungkin enggan untuk memulai sesuatu yang baru. Belajar bahasa asing, belajar ilmu baru, memulai bisnis baru, atau bahkan sekadar menulis---semua terhambat karena bayangan akan kegagalan lebih besar daripada keyakinan atas potensi.
Pertanyaannya sekarang: apakah kita bisa mengubah situasi ini?
Bisa. Perubahan situasi pun harus dimulai dari perubahan cara pandang. Kesalahan bukanlah akhir, tapi tanda bahwa kita sedang bergerak. When I win, I earn. When I lose, I learn. Kegagalan adalah bukti bahwa kita sedang belajar. Carol Dweck---pencetus teori growth mindset---menekankan bahwa individu yang percaya kecerdasan dapat berkembang justru saat melihat kesalahan sebagai ruang pertumbuhan.