Lihat ke Halaman Asli

R. Syrn

pesepeda. pembaca buku

Membahas Kelaparan dan Kemiskinan di Hotel Mewah

Diperbarui: 1 Desember 2022   18:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber foto : id.wikipedia.org

Terkadang tidak mengerti dengan perencanaan pelaksanaan pekerjaan di sebuah instansi, atau memang direncanakan demikian, sehingga banyak acara rapat menumpuk di akhir tahun.  

Tidak cuma rapat, bimbingan teknis dan semacamnya juga seakan-akan terjadwal menjelang akhir tahun.  Jadinya tak cuma aula kantor-kantor saja yang jadwalnya penuh, tapi juga merambah ke gedung-gedung pertemuan terutama hotel yang menyediakan aula pertemuan yang cukup luas.

Anggap saja evaluasi akhir tahun mungkin, tak sekedar dikejar tenggat untuk menghabiskan anggaran yang tersisa.  Hal yang juga tak bisa dimengerti, seakan-akan kinerja cuma diukur berdasarkan kemampuan menghabiskan anggaran, padahal harusnya efisiensi juga diperhitungkan.  Tapi salah kaprah yang terjadi adalah, jika anggaran yang tersedia tahun ini tidak bisa diselesaikan, maka anggaran tahun berikutnya akan dikurangi.

Bukankah logika yang aneh, seharusnya dilihat efisiensinya.  Nanti di tahun berikutnya dialihkan ke anggaran kegiatan lainnya.  Atau itu karena dianggap tak bisa merencanakan kegiatan dengan baik. Entahlah.

Kadangkala ada rapat terkait kebijakan yang masih mengganjal, misal membahas tentang stunting, tentang kemiskinan, semua yang terkait hal-hal negatif yang masih ada di masyarakat.

Hal-hal demikian apakah tetap harus diselenggarakan di sebuah hotel, apalagi yang termasuk mewah.  Apakah esensi dari objek yang dibahas itu akan bisa meresap ke pikiran para pengambil kebijakan? Atau cuma sekedar berkutat dengan angka, bagaimana cara menurunkan 'angka', misal menurunkan angka kemisikana atau menurunkan stunting yang biasanya saling berkaitan.

Kenapa rapat pertemuan seperti itu, yang bisanya juga kebanyakan diisi dengan sambutan-sambutan dan makan-makan, kadang diselingi dengan akomodasi tetap saja menjadi budaya.  Mengapa tidak diselenggarakan di tempat objek kebijakan.  Misalkan mengadakan pertemuan di lokasi  masyarakat miskin, sekalian menginap sehari atau beberapa malam.  Biar bisa merasakan apa yang masyarakat rasakan, memunculkan empati sehingga mungkin bisa tumbuh kebijakan yang lebih berpihak dengan solusi yang langsung didapatkan dari hasil komunikasi dengan masyarakat langsung.

Kalau cuma terus menduga-duga jalan pemecahan masalah di masyarakat, hanya berdasarkan data yang masuk, tapi tak tahu kondisi faktual di lapangan, lalu apa yang bisa diharapkan dari kebijakan yang dihasilkan dari data yang tak divalidasi langsung di lapangan?

Takutnya dinginnya ruang pertemuan di hotel mewah, bukannya bikin adem otak untuk bisa menemukan pemecahan masalah, malah bikin mata berat lalu mengantuk dan pikiran terbang entah kemana.

Ah, semoga itu cuma ada di pikiran saya saja.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline