Lihat ke Halaman Asli

Peristiwa Filsafat

Diperbarui: 23 November 2019   01:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

vowelor.com

Filsafat lahir di sebuah Kota yang bernama Miletos. Tak sampai di situ, filsafat terus berkembang sampai ke Kota Athena. Ada dua kondisi yang menjadi bidan atas lahirnya filsafat kala itu: kemajuan ekonomi dan kultur politik. 

Mulai dari topangan ekonomi sampai pada kegembiraan berpikir menjadi acuan awal lahirnya para filsuf. Tetapi juga demokrasi, kultur politik yang memaksa orang di Yunani menjadi lebih peka terhadap setiap pemikiran. 

Dari situ, orang dibuat lebih sadar akan pentingnya berbicara dan berargumentasi. Situasi semacam ini menjadi makin jelas ketika Plato mulai berfilsafat, yaitu bahwa negara mesti tersusun dalam pembagian kerja: para pemikir hanya berurusan dengan pikirannya sendiri, sebab masalah konsumsi dan keamanan akan di urus oleh orang lain.

Kini, usia filsafat telah 25 abad. Dimulai sejak logos memisahkan diri dari mitos di Yunani. Saat ini, di lingkungan kampus, filsafat juga seolah menjadi penentu yang kita harapkan untuk mengakhiri mitos. Karena memang, soal itu masih mengambil perannya yang paling sukar untuk kita jangkau. Bayangkan, setiap hari kita bertemu dengan drama kerajaan di kehidupan kampus. 

Dosen yang tak mau dikritik, aturan busana yang kaku, mahasiswa yang gugup dengan pikirannya sendiri karena metode belajar yang buruk, mahasiswa yang dikeluarkan dari kelas karena persoalan teknis, dst. 

Semuanya adalah mitos tentang kekuasaan, bahwa cara berpikir kritis hanyalah tentang kedudukan. Akibatnya, ruang-ruang kelas Kampus, menjadi sesak karena dipenuhi dramaturgi semacam itu. Akibatnya, feodalisme telah mendahului kritisisme, yaitu bahwa belum sempat praktik berpikir kritis diterapkan, praktik feodalistik telah melenyapkan.

Kepekaan atas seluruh jenis pikiran, seolah tak lagi diperhitungkan di kehidupan Kampus. Padahal kepekaan adalah modal utama dalam berpikir. Sementara itu, kita masih terus mengandaikan ketersediaan ruang terhadap praktik berpikir dalam kegembiraan. 

Yang semestinya juga dipandang sebagai acuan awal untuk merawat kekritisan. Namun, harapan semacam itu sangat mungkin tak perlu kita hiraukan, apabila kita belajar dari beberapa filsuf yang dengan tanpa beban, mampu mengucapkan pikirannya, kendati ruang yang tersedia begitu terbatas.

Baruch de Spinoza, filsuf yang dengan tanpa keraguan mampu mengkritik dengan mempertanyakan kebenaran yang dianut oleh para agamawan di sekitarnya: apa yang kalian sebut kebenaran? Kesesatan yang berabad-abad usianya, tulis Spinoza. Akibatnya, begitu banyak buku-buku Spinoza yang dilarang untuk diedarkan di negerinya sendiri. 

Namun, buku-buku itu malah terkenal di luar negeri. Juga dialah filsuf yang pertama kali memperkenalkan metode dalam membaca teks suci, yang biasa kita sebut sebagai "historis-kritis". 

Begitupun dengan Giordano Bruno, filsuf yang terus dikejar oleh para pejabat gereja karena pikirannya. Oleh sebab itu, ia disebut sebagai "Sang Bidaah" kala itu. Akhirnya, Bruno, karena pikirannya dihukum dan bakar di depan alun-alun kota Roma. Dari kedua filsuf ini kita belajar satu hal, bahwa kemerdekaan berpikir adalah penentu suatu peradaban.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline