Minggu-minggu ini, para kepala sekolah dan guru di seluruh negeri sedang disibukkan dengan satu pekerjaan tahunan yang namanya Sulingjar. Bunyinya keren: Survei Lingkungan Belajar. Di telinga sebagian orang, kedengarannya seperti ritual administratif yang sama sekali tidak jelas gunanya. Seakan-akan cuma "tambahan kerjaan" dari yang sudah bertumpuk: RPP, supervisi, laporan BOS, dan seterusnya. Tapi jangan salah: Sulingjar ini sebenarnya ibarat cermin besar. Bedanya, kalau Anda bercermin di rumah bisa kelihatan jerawat atau uban, kalau bercermin di Sulingjar bisa ketahuan kenapa nilai anak-anak jeblok, kenapa kelas terasa sumpek, kenapa murid-murid lebih semangat main Mobile Legends ketimbang mendengarkan gurunya.
Masalahnya, banyak orang hanya tahu bahwa ANBK itu tes Literasi dan Numerasi. Padahal, itu baru separuh cerita. ANBK itu ibarat hasil cek darah: keluar angkanya, merah di sana, kuning di sini. Tapi Sulingjar adalah dokter yang menjelaskan, "Lha wajar, Pak, kolesterol naik wong tiap hari makannya gorengan lima." Jadi kalau ANBK bilang, "Anakmu nilainya jeblok," Sulingjar bisa nyeletuk, "Ya pantes, gurunya ngajar sambil manyun, kursinya patah tiga, toilet sekolah baunya kayak film horor, dan kepala sekolahnya lebih sibuk tanda tangan daripada ngobrol dengan murid."
Nah, di sinilah pentingnya. Sulingjar itu tidak sekadar survei iseng. Ia memotret hal-hal yang tidak muncul di angka-angka: gaya kepemimpinan kepala sekolah, kebiasaan guru merefleksi, sampai seberapa aman anak-anak main di halaman tanpa merasa jadi korban bully. Kalau data Sulingjar digabung dengan hasil ANBK, jadilah Rapor Pendidikan. Dan Rapor Pendidikan ini sebenarnya semacam GPS: bisa kasih tahu kita sedang berada di jalur yang benar atau malah nyasar ke sawah.
Tapi, jujur saja, praktik di lapangan kadang bikin miris. Banyak guru dan kepala sekolah yang mengisi Sulingjar asal cepat selesai. Asal setor. Asal aman. Seperti ikut ujian matematika tapi jawabannya semua "C", biar cepat, biar tenang. Padahal data yang salah itu ibarat ngasih GPS alamat palsu. Akhirnya kita muter-muter, bensin habis, waktu habis, murid tetap nggak sampai tujuan.
Kalau kita mau sedikit jujur---meski pahit---Sulingjar itu bisa jadi kaca pembesar untuk memperbaiki diri. Misalnya, Sulingjar bilang guru masih jarang kasih umpan balik yang konstruktif. Nah, itu alarm. Kepala sekolah harus berpikir, "Oke, berarti tahun depan pelatihan guru fokus di situ." Atau Sulingjar memotret iklim kebinekaan yang belum ramah. Itu juga alarm: berarti sekolah perlu bikin program yang menumbuhkan toleransi, bukan malah nambah jam hafalan definisi.
Tapi ya itu tadi, semua kembali pada kejujuran. Kalau Sulingjar dianggap formalitas, maka hasilnya ya formalitas. Kalau dianggap sebagai jalan pembenahan, barulah ia jadi peta jalan. Sebab pendidikan itu bukan soal angka yang indah di laporan, tapi soal wajah murid yang berangkat sekolah dengan hati riang dan pulang dengan kepala penuh cahaya.
Jadi, Sulingjar bukan sekadar form online yang bikin kepala sekolah dan guru tambah pusing. Ia bisa jadi kunci untuk melihat kenyataan, seburuk apapun itu. Dan dari kenyataan itu, kita bisa bergerak. Kalau tidak, kita hanya akan sibuk tiap tahun dengan tes, rapor, evaluasi---tapi anak-anak tetap bingung mencari arah. Dan bukankah itu tragedi paling lucu sekaligus paling menyedihkan dalam pendidikan kita?
Pada akhirnya, Sulingjar ini seperti kaca spion di mobil. Ia tidak bikin mobilmu lebih cepat, tapi kalau kau malas lihat, siap-siap nyundul truk di depan. Masalahnya, banyak guru dan kepala sekolah justru sibuk poles kaca spionnya biar kinclong pas difoto pengawas, padahal jalan di depan berlubang semua. Lha gimana murid mau sampai tujuan? Jadi, kalau kau isi Sulingjar cuma formalitas, ya sama saja bohong. Sekolahmu tetap panas, gurumu tetap manyun, muridmu tetap bingung. Bedanya cuma satu: kita tambah punya setumpuk kertas, tapi anak-anak kita tetap tidak punya masa depan yang lebih terang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI